Senin, 19 November 2012

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM UPAYA MENGATASI DAN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP TKI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kasus Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah masalah aktual selalu sering diperbincangkan. Sepanjang tahun pemerintah Indonesia harus dipusingkan dengan permasalahan TKI. Selain itu, pemerintah juga bermasalah dengan negara-negara seperti Malaysia dan Singapura karena kasus-kasus kekerasan yang diterima oleh TKI. Namun tetap tidak ada solusi dan kebijakan yang tepat sasaran dan mampu mengatasi permasalahan TKI ini. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah menuai protes dari banyak kalangan aktivis perempuan, akademisi dan pemerhati TKI. Sehingga seolah kebijakan yang sudah ada mengambang begitu saja tanpa tindak lanjut, sementara nasib para TKW semakin tragis dan terkesan dibiarkan.
Ada beberapa alasan mengapa saya mengambil judul penelitian ini. Pertama, makin maraknya kasus kekerasan yang diterima oleh para TKI dan selalu menjadi sorotan media. Kedua, belum adanya kebijakan pemerintah yang mampu untuk melindungi para TKI yang bekerja di luar negeri.

B.     Identifikasi Masalah
Ada beberapa masalah yang terkait dengan masalah perlindungan TKI, diantaranya adalah mengenai permasalahan kurangnya kebijakan pemerintah dalam masalah penanganan kekerasan TKI, selain itu juga kurangnya landasan hukum yang mengatur mengenai perlindungan TKI. Tidak hanya itu, pemerintah juga terkesan lambat dan mengabaikan sejumlah kasus yang telah menimpa para TKI tersebut.

C.    Pembatasan Masalah
Pada penelitian kali ini, saya akan memfokuskan penelitian saya terhadap masalah kebijakan pemerintah terhadap penanganan dan permasalahan kasus TKI, baik yang telah maupun yang masih dalam bentuk tahap rancangan. Karena kebijakan ini merupakan hal yang vital dalam upaya perlindungan terhadap para TKI

D.  Perumusan Masalah
Ada beberapa masalah yang akan saya bahas di penelitian ini, diantaranya:
a.       Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani kasus TKI ?
b.      Adakan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara pengguna jasa Tenaga Kerja Indonesia terkait masalah perlindungan para TKI tersebut selama bekerja di negaranya ?

E.     Definisi Operasional
Sesuai dengan judul yang penulis ambil yaitu: “Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Upaya Mengatasi dan Memberikan Perlindungan Terhadap TKI” terdapat definisi operasional, yaitu :
-Tenaga Kerja Indonesia adalah tenaga kerja dari Indonesia yang bekerja diluar negeri, yang biasanya dikaitkan dengan buruh.

F.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Suatu kegiatan yang dilakukan pada dasarnya memiliki tujuan dan kegunaan tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah :
a.       Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan pemerintah Indonesia dalam memberi perlindungan terhadap TKI
b.      Untuk mengetahui upaya-upaya yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia ntuk mengatasi kasus kekerasan terhadap TKI

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembahasan Teori
Pendekatan yang dipakai untuk menganalisis masalah TKW dalam makalah ini adalah dengan system blame approach. Kenapa dipilih melalui pendekatan ini karena memang ini yang paling tepat untuk digunakan sebagai alat analisis. Ujung dari setiap alasan pekerja Indonesia bekerja di luar negeri adalah faktor ekonomi. Keluarga yang tak mampu lagi memberi nafkah. Ini tidak termasuk dalam wilayah person, karena mereka menjadi miskin bukan karena mereka malas bekerja atau karena budaya kemiskinan, tapi lebih karena mereka tidak punya akses untuk mendapatkan peluang-peluang kerja.

Kesenjangan sosial bisa jadi muncul sebagai akibat dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh kelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai tertentu masyarakat yang tidak terintegrasi dengan masyarakat luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Bisa dikatakan, bahwa kesenjangan sosial muncul bukan karena ketidak mampuan seseorang untuk bekerja, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan struktural. Kesenjangan ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa penyebab miskinnya keluarga-keluarga di Indonesia adalah karena faktor kemiskinan struktural. Sempitnya peluang mereka untuk mendapatkan akses kerja menyebabkan perempuan dalam keluarga harus menerima resiko menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga merebaklah perempuan-perempuan yang membulatkan dirinya untuk bekerja di luar negeri.

Padahal, secara kualitas, mereka tidak mempunyai skill apapun, kecuali sebagai pekerja kasar dan pembantu rumah tangga. Keterbatasan lapangan pekerjaan membuat arus urban dan migrant semakin tinggi di Indonesia, karena di wilayah asal mereka yaitu pedesaan, mereka tidak bisa mendapatkan nafkah lebih. Hal ini disebabkan wilayah pertanian, hasilnya tidak bisa dinikmati secara langsung dan continue. Harus menunggu dalam waktu lama untuk mereka bisa menikmati panennya.

Ditambah lagi, masuknya teknologi pertanian ke pedesaan membuat para buruh tani kehilangan mata pencaharian. Sehingga mau tidak mau mereka harus punya pendapatan lain atau membebankan nafkah keluarga kepada anggota keluarga lain yang sekiranya dianggap mampu. Ironisnya, perempuan justru menjadi penanggung beban keluarga yang baru, prosentasenya mencapai angka 12, 73 % tahun 2001.

Kondisi ini menyebabkan para perempuan membulatkan dirinya untuk bekerja ke luar negeri. Karena mereka tidak mempunyai skill khusus, maka mayoritas para perempuan ini hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Bagi mereka, pekerjaan ini akan mendatangkan uang banyak dalam waktu singkat. Karena gaji yang akan mereka terima lebih dari 2 juta rupiah per bulan. Melebihi gaji seorang sarjana bahwa pegawai negeri sipil di Indonesia.

B.     Hasil Penelitian
Kondisi kerja yang buruk dan beragam kasus yang diterima oleh para TKI di luar negeri pada dasarnya berakar pada kondisi dalam negeri. Kondisi di dalam negeri ini bisa ditelusuri dari kebijakan dan sistem migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Kondisi kebijakan dan sistem migrasi tenaga kerja yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sendiri tidak mendukung bagi terwujudnya perlindungan efektif bagi para TKI. Sebab, kebijakan dan sistem itu lebih banyak mengatur soal bisnis penempatan tenaga kerja ke luar negeri .

Sejak semakin banyaknya tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri  dan semakin banyak masalah yang dihadapi semua pihak, baik para TKI itu sendiri, pemerintah, maupun pelaku bisnis penempatan para TKI, sampai saat ini telah diabsahkan tak sedikit lembar-lembar kebijakan publik yang mengamanatkan pengelolaan migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Kebijakan publik itu sesungguhnya diabsahkan untuk mengatur urusan penempatan kerja lebih dari pada perlindungan para buruh itu sendiri. Tengara yang paling dominan banyak diacu publik, baik pemerintah sendiri, kalangan bisnis ekspor tenaga kerja maupun masyarakat, mengarah kepada Undang-Undang No.39/2004 yang bertajuk ‘penempatan perlindungan tenaga kerja Indonesia’ dan semua peraturan lain yang kemudian diterbitkan oleh pemerintah untuk menjelaskan UU 39/2004 itu (meskipun masih banyak juga sisa pekerjaan yang sifatnya krusial tapi belum diselesaikan). Undang-Undang inilah yang kiranya merupakan titik putar utama dari kebijakan migrasi dari TKI.

Sejarah perlindungan hukum terhadap TKI dimulai ketika pada tahun 1969 pemerintah mengerluarkan kebijakan tentang penempatan TKI luar negeri yang dilaksanakan oleh departemen perburuhan dengan dikeluarkannya PP No.4 Tahun 1970 tentang program Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAN) maka penempatan TKI di luar negeri mulai melibatkan pihak swasta. Dalam upaya perlindungan TKI pemerintah telah membentuk Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI) tanggal 16 April 1999 melalui Kepres No.29 tahun 1999. BPTKI terdiri dari 9 Instansi terkait. Pada tahun 2004 pemerintah telah menerbitkan UU No.39 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, pasal 5 UU meyatakan : Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraaan, penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

Dengan terbitnya UU No.39 pasal 5 tahun 2004, maka penempatan TKI di luar negeri tidak saja dilakukan oleh swasta, tetapi juga oleh pemerintah. Dengan demikian dari sisi pengurusan dan penempatan TKI luar negeri semakin lancar dan baik. Hal ini membuat jumlah TKI yang bekerja di luar negeri semakin banyak. Dalam menangani kasus kekerasan terhadap TKI, Indonesia juga mengadakan kerjasama-kerjasama dengan negara-negara yang mempekerjakan tenaga kerja Indonesia, misalnya mengenai perjanjian TKI antara Indonesia dengan Saudi Arabia dan Malaysia.

C.    Kerangka Pemikiran
Ada beberapa upaya dalam mengatasi masalah kurangnya perlindungan terhadap para TKI yang bekerja di luar negeri diantaranya :
a.         Dari segi sumber daya manusia (SDM) :
-Menciptakan SDM yang unggul dengan memperbaiki faktor kesehatan sejakdari kandungan, anak-anak, remaja dan orang dewasa.
-Menciptakan lapangan kerja dengan menitikberatkan pada pengembanganpasar domestic, agar ada alternative lain selain mencari pekerjaan keluar negeri.

b.        Dari segi peraturan pemerintah :
-   Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang PPTKLN perlu direvisi yang lebih berprespektif perlindungan.
-   Bila masih belum memungkinkan paling tidak peraturan pelaksananya agar dilengkapi untuk mendukung dan mempermudah implementasi pelaksanaannya.
-   Perlu dirumuskan mekanisme yang jelas dan tegas dalam pengawasan perlindungan TKI.
-   Menindak tegas kepada pihak-pihak yang memeras/pungli terhadap TKI.

c.         Pra Penempatan
-   Perlu sosialisasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO ke kantong-kantong TKI secara lebih intensif, perlu melibatkanorganisasi perempuan hingga tingkat paling bawah, yang lebihmengetahui keadaan lapangan dan dapat mendampingi sertasosialisasi hak-hak TKI dan melibatkan badan PP dan KB di tingkatProvinsi/Kabupaten/Kotab.
-   Pelanggaran pada BLK PPTKIS, perlu dicari terobosan agar dapatmemperbanyak pengawas ketenagakerjaan yang professional dankredibelc.
-   Penguatan jejaring melalui forum perlindungan TKI yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, dunia usahamaupun elemen masyarakat.
-   Penampungan di PPTKIS, harus menyediakan tempat penampungan yang lebih memadai dan manusiawi sesuai standar yang disyaratkanPermennaker Nomor R-07/Men/IV/200.
-    Perlu dilakukan percepatan proses dokumen untuk pemberangkatan di PPTKIS agar TKI tidak menunggu terlalu lama sehingga menumpuk di penampungan.
-   Asuransi TKI, perlu dilakukan sosialisasi tentang hak TKI perempuan tentang asuransi, polis asuransi seharusnya bersifat personal bukan kolektif.

d.      Penempatan
-Perlu dilakukan percepatan proses dokumen baik di KBRI/KJRI agarTKI tidak menunggu terlalu lama sehingga menumpuk dipenampungan, disamping itu perlu dipikirkan perluasan shelter sesuai dengan daya tamping.
-Paspor sebaiknya disimpan di KBRI/KJRI, sedangkan TKI diberikan identitas (ID card) sebagai pengganti paspor, masalah paspor perlu dimasukkan dalam MOU dengan Negara tujuan penempatan TKI.
-Perlu dibangun sekolah-sekolah berasrama diperbatasan untuk menampung anak-anak TKI, karena dengan membangun sekolah diperbatasan lebih menguntungkan yaitu: anak didik mendapatkan pelajaran cinta tanah air, dan asetnya tetap milik Pemerintah Indonesia.

D.    Hipotesa
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat ditarik hipotesa bahwa alasan utama para TKI ingin bekerja di luar negeri adalah faktor kemiskinan. Kemiskinan sendiri merupakan produk dari akibat adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Maka karena itulah untuk memperoleh penghasilan yang mencukupi mereka mencoba peruntungan dengan bekerja di luar negeri. Sementara itu, pemerintah sendiri cenderung kurang tanggap mengenai keadaan para TKI di luar negeri, meskipun pemerintah dapat dikatakan sudah berupaya maksimal namun tetap saja sejumlah kasus-kasus kekerasan terhadap para TKI kerap bermunculan.

BAB III
PENUTUP

A. Rangkuman
Kasus kekerasan terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan kasus yang sering diperbincangkan ditengah masyarakat. Hampir sepanjang tahun, sejumlah permasalahan-permasalahan mengenai TKI terus bermunculan. Namun, pemerintah nampaknya belum menunjukkan atau memperlihatkan solusi yang pas untuk menyelesaikan masalah ini. Sejumlah permasalahan seperti kurangnya bentuk hukum yang mengatur mengenai permsalahan TKI, dan pemerintah sendiri terlihat tidak terlalu serius dalam hal ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah system blame approach.

B. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan faktor utama seseorang untuk bekerja menjadi TKI diluar negeri. Terutama dengan diiming-imingi gaji yang lumayan besar. Namun, hal ini kemudian menjadi sebuah permasalahan ketika gaji para TKI tidak dibayarkan serta menerima perlakuan yang tidak sepantasnya. Untuk itulah diperlukan peran pemerintah Indonesia dalam menangani kasus-kasus tersebut. Selain itu juga, Indonesia juga telah menandatangani peraturan mengenai ketenagakerjaan, diantaranya dengan Malaysia dan Saudi Arabia.

C. Saran
Selama beberapa tahun belakangan, kasus penganiayaan terhadap TKI terus meningkat. Pemerintah Indonesia dinilai tidak berhasil memberikan perlindungan terhadap para TKI yang bekerja di luar negeri.  Oleh karena itu pemerintah, sebagai pengayom masyarakat diharapkan mampu mempercepat tindakannya sebelum sejumlah kasus-kasus cukup fatal terjadi. Selain itu, pemerintah juga harus memperbanyak landasan hukum sebagai acuan dalam menyelesaikan permasalahan TKI tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

2010.Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI.Jakarta: The Institute of Ecosoc Right.
Wawa, Jannes Eudes.2005.Ironi Pahlawan Devisa. Jakarta: Kompas Group














KEUNTUNGAN INDONESIA MELALUI AGREEMENT ON AGRICULTURE (AOA) DALAM BIDANG PERTANIAN

BAB I
PENGAJUAN MASALAH
1.1  Latar Belakang
Agreement on Agriculture (AoA)  merupakan perjanjian pertanian yang merupakan bagian dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995. Organisasi ini bertujuan agar setiap negara mau menghapuskan tarif pertaniannya dan mau menghapus subsidi pertaniannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi kesepakatan ini melalui UU No. 7/1994. Keikutsertaan Indonesia dalam AoA pada dasarnya bertujuan untuk menerapkan aturan AoA sehingga diharapkan akan mendorong perdagangan, meningkatkan akses pasar, terjadinya efisiesi ekonomi serta memperbaiki kesejahteraan konsumen.

1.2  Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa permasalahan terkait dengan kesepakatan AoA, diantara adalah
1.      Bagaimana sejarah awal terbentuknya Agreement on Agricultural ?
2.      Negara mana saja yang telah meratifikasi kesepakatan ini ?
3.      Mengapa Indonesia meratifikasi Agreement onAgricultural ?
4.      Apa yang diharapkan Indonesia melalui kesepakatan ini ?
5.      Apa keuntungan yang diperoleh Indonesia melalui kesepakatan dalam bidang ekonomi dan politik ?
6.      Bagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian dan politik di Indonesia ?

1.3  Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, saya akan memfokuskan penelitian saya terhadap masalah mengapa Indonesia meratifikasi perjanjian ini, harapan Indonesia melalui kesepakatan ini, keuntungan yang diperoleh Indonesia melalui Agreement on Agricultural dan pengaruhnya terhadap perekonomian dan politik di Indonesia.

1.4  Perumusan Masalah
1.      Mengapa Indonesia meratifikasi kesepakatan Agreement on Agricultural ?
2.      Apa yang diharapkan Indonesia melalui kesepakatan ini ?
3.      Apa keuntungan yang diperoleh Indonesia terutama dalam bidang ekonomi dan politik ?
4.      Bagaimana pengaruh perjanjian ini terhadap perekonomian dan politik di Indonesia ?

1.5  Definisi Operasional
Sesuai dengan judul yang penulis ambil yaitu “KEUNTUNGAN INDONESIA MELALUI AGREEMENT ON AGRICULTURE (AOA) DALAM BIDANG PERTANIAN”, terdapat sejumlah definisi operasional, yaitu:
-Kesepakatan (Agreement) merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dimana pihak-pihak tersebut harus mematuhinya.
-Keuntungan merupakan hasil yang diperoleh dalam sebuah kesepakatan dalam dalam konteks yang positif

1.6  Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial terutama Ilmu Hubungan Internasional selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan sumber referensi.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pembahasan Teori
Pada dasarnya, perjanjian internasional dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi internasional.  Perjanjian internasional  dapat dikatakan sebagai  wujud dari kerjasama internasional yaitu negara-negara dalam melaksanakan hubungan atau kerjasamanya membuat perjanjian internasional. Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Berdasarkan tema penelitian yang saya ambil, yakni “Keuntungan Indonesia Melalui Agreement on Agriculture (AoA) dalam Bidang Pertanian”, saya menggunakan perspektif liberalis dimana perspektif ini lebih banyak membincangkan mengenai perjanjian atau kesepakatan internasional. Selain itu perspektif ini juga membicarakan mengenai keuntungan-kentungan yang diperoleh oleh negara-negara melalui perjanjian internasional.
2.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan teori diatas, penulis akan mencoba membahas mengenai alasan indonesia untuk meratikasi dan menandatangani kesepakatan tersebut berdasarkan latar belakang sejarah. Selain itu penulis juga akan membahas mengenai keuntungan-keuntungan apa saja yang diperoleh Indonesia melalui kesepakatan tersebut.


2.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan masalah yang penulis, dapat dihasilkan hipotesa awal yaitu:
1.      Perjanjian Pertanian (Agreement Agriculture) merupakan perjanjian dibawah naungan WTO (World Trade Organization).
2.      Pada dasarnya Indonesia meratifikasi Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture) karena merupakan negara anggota WTO agar tidak ketinggalan dengan negara-negara lainnya.
3.      Melalui perjanjian ini Indonesia berharap dapat memperoleh keuntungan terutama dalam bidang pertanian.
BAB III
HASIL PENELITIAN
3.1     Variabel Yang Diteliti
Dalam makalah ini, variabel yang penulis teliti ialah mengenai keuntungan dan pengaruh Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture) yang berada dibawah naungan WTO (World Trade Organization) terhadap Indonesia yang ikut meratifikasi perjanjian itu.

3.2     Deskripsi Hasil Penelitian
Kebijakan nasional pembangunan pertanian di suatu negara tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh eksternal dalam era globalisasi dengan ciri keterbukaan ekonomi dan perdagangan yang lebih bebas. Dengan demikian, akan sulit ditemukan adanya kebijakan nasional pembangunan pertanian yang lepas dari pengaruh-pengaruh tersebut.

Demikian pula halnya dengan Indonesia, dimana kebijakan nasional pembangunan pertaniannya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain: (a). kesepakatan-kesepakatan internasional (seperti WTO, APEC dan AFTA); (b) kebijakan perdagangan komoditas pertanian di negara-negara mitra perdagangan Indonesia; (c) lembaga-lembaga internasional yang memberikan bantuan kepada Indonesia terutama dalam masa krisis.

Sebagai salah satu anggota WTO, berarti Indonesia bersedia membuka pasar domestiknya bagi produk negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang masuk WTO, dengan disahkannya hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) WTO sebagai rangkaian dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993. Perundingan di bidang pertanian meliputi tiga pilar utama: a). subsidi/bantuan domestik (domestic support), b). promosi/subsidi ekspor (export promotion/subsidy), c). akses pasar (market access).

Salah satu bentuk kesepakatan WTO yang diikuti oleh Indonesia adalah Agreement on Agriculture (AoA) yaitu perjanjian WTO untuk produk pertanian. Pertanian merupakan sektor utama bagi negara berkembang di mana pembangunan sangat bergantung pada sektor ini. Sektor pertanian dipandang sangat penting dan sensitif bagi negara berkembang. Dengan masuknya Indonesia ke dalam perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture/AOA) pada tahun 1995, telah melahirkan proses liberalisasi bidang pertanian secara radikal. Kondisi ini di satu sisi dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk berperan di pasar dunia, sekaligus juga merupakan tantangan bahkan ancaman jika daya saing komoditas pertanian Indonesia masih rendah.

Indonesia memiliki kepentingan dalam Perjanjian Pertanian ini sesuai dengan prinsip politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Adapun kepentingan Indonesia dalam perundingan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Ketahanan Pangan (Food Security)
Indonesia dan semua negara di dunia harus dapat menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya, dalam pengertian bahwa rakyat harus dapat menjangkau dan memperoleh pangan yang secukup, aman dan bermutu, secara berkelanjutan dan handal. Dalam hal ini menjaga keberlangsungan produksi pangan dalam negeri tidak hanya ditujukan untuk menyediakan pangan tetapi juga menjamin perolehan pendapat petani dan keluarganya untuk membeli pangan, termasuk sebagian pangan dari negara lain. Ketahanan pangan tidak hanya menyangkut pangan pokok semisal beras, tetapi juga sejumlah pangan lain semisal gula dan merupakan masalah mendesak jangka pendek sekaligus jangka panjang. Di samping itu, ketahanan pangan ini kemudian juga terkait dengan usaha lain seperti pengembangan industri pangan, food supply chain, dan sebagainya.

2) Penghapusan Kemiskinan (Poverty Eradication)
Penghapusan kemiskinan merupakan tugas kemanusiaan yang diakui oleh seluruh dunia, terutama berbagai organisasi dan lembaga multilateral. Karena itu, setiap kebijakan pembangunan pertanian, termasuk kebijakan produksi, distribusi dan perdagangan, harus menjadi bagian dari upaya menghapus kemiskinan.

3) Keberlanjutan (Sustainability)
Tekanan penduduk dan pemanfaatan sumber daya alam (terutama tanah, air dan udara) yang meningkat mengharuskan strategi pembangunan pertanian ditata secara baik agar mampu menjamin keberlanjutan kegiatan pertanian serta manfaatnya bagi manusia.

4) Pembangunan Desa (Rural Development)
Banyak masalah yang berhubungan dengan ketahanan pangan, kemiskinan di desa dan di kota, dan keberlanjutan terkait dengan kondisi kemajuan wilayah pedesaan. Karena itu, pembangunan pertanian tidak dapat dilepaskan dari pembangunan desa.

5) Kemajuan Sosial Ekonomi (Social and Economic Progress)
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk berada di pedesaan dan menggantungkan hidup pada pertanian, tidak mungkin terjadi kemajuan sosial ekonomi jika tidak tercapai kemajuan di bidang pertanian. Hal ini juga terkait dengan isu universal semisal demokrasi, hak asasi manusia, keamanan dan kedaulatan negara. Pembangunan pertanian memiliki kaitan erat dengan kemajuan sosial ekonomi masyarakat.

Pada permulaan tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program BIMAS (Bimbingam Massal). Revolusi hijau atau program BIMAS meskipun memakan waktu yang relatif lama yakni lebih kurang 20 tahun, telah berhasil mengubah sikap para petani, khususnya para petani sub sektor pangan, dari “anti” teknologi ke sikap yang mau memanfaatkan teknologi pertanian moderen seperti pupuk kimia, obat-obatan perlindungan, dan bibit padi unggul.
Perubahan sikap petani sangat berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas sub-sektor pertanian pangan sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Revolusi Hijau mampu secara makro dapat meningkatkan produktivitas sub-sektor pertanian pangan, namun pada tingkat mikro Revolusi Hijau tersebut telah menimbulkan berbagai masalah tersendiri. Salah satu masalah yang sangat penting adalah bibit padi yang boleh ditanam adalah bibit padi unggul yang disediakan pemerintah, sementara pemerintah melarang para petani menanam bibit lokal yang semula banyak ditanam oleh petani. Akibatnya adalah timbulnya kerentanan dalam tubuh sub-sektor pertanian pangan kita.

Tidak seperti yang diharapkan, Perjanjian Pertanian ini justru lebih banyak membuat keterpurukan dalam sektor pertanian di Indonesia. Kondisi pertanian saat ini jauh dari menggembirakan dimana para petani tidak menikmati kenaikan harga produk pertanian, utamanya beras (naik sekitar 33 persen) di pasar dunia. Bahkan Indonesia menghadapi kelangkaan pasokan beras dalam negeri sehingga masyarakat sulit mendapatkan beras dengan harga terjangkau. Seperti negara lain, Indonesia mengalami transformasi dalam struktur ekonominya, yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri.Perekonomian di pedesaan mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja akibat tingginya pertumbuhan penduduk dan karena perekonomian yang masih bersifat tradisional dan subsisten sehingga upah riil menjadi rendah. Dalam perjanjian pertanian WTO, Indonesia memasukkan empat komoditas strategisnya yaitu beras, jagung, gula dan kedelai, dimana keempat komoditas ini dikategorikan sebagai komoditas substitusi impor.

Untuk ekspor, Indonesia malah tidak memberikan subsidi bagi produk pertanian yang diekspor karena anggaran pemerintah yang terbatas dan ketakberpihakan elit pemerintahan terhadap petani Indonesia. Selain itu pengurangan domestic support pertanian, menyebabkan pemerintah menetapkan kredit tani hanya diberikan sampai 2004 dan melakukan pengurangan subsidi pupuk secara bertahap. Kebijakan penetapan tarif impor sampai 0 persen menyebabkan membanjirnya produk pertanian impor dalam pasar dalam negeri yang menggeser produk lokal yang kalah bersaing. Disamping itu, masuknya benih-benih transgenik yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan transnasional, seperti Monsanto, yang mengakibatkan hilangnya benih-benih lokal Indonesia.

Tidak hanya dari segi ekonomi, secara politis Perjanjian Pertanian juga banyak memberikan kerugian bagi Indonesia. Indonesia yang dulunya dikenal sebagai negara pengekspor terutama dalam bidang pertanian dan dipandang oleh negara-negara lain kini berubah menjadi negara pengimpor. Padahal Indonesia sebagai negara agraris dimana sebagai besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Selain itu posisi Indonesia di dunia internasional semakin melemah sehubungan dengan makin menurunnya perekonomian di Indonesia.

3.3     Pengujian Hipotesis
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya bahwa Indonesia meratifikasi Perjanjian Pertanian pada dasarnya adalah agar tidak mengalami ketertinggalan dari negara anggota WTO lainnya. Namun, dengan ditandatanganinya Perjanjian Pertanian ini, Indonesia hampir tidak mengalami keuntungan. Indonesia lebih banyak mengalami kerugian bahkan tidak lebih dari sebelum meratifikasi Perjanjian Pertanian.

3.4     Pembahasan Hasil Pengujian
Sektor pertanian sangat memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa (salah satu komoditi ekspor) sehingga merupakan sumber pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan hal itu, perekonomian dunia saat ini memasuki era sejarah baru dimana ekonomi dan budaya nasional serta batas-batas geografis kenegaraan sudah kehilangan makna oleh sebuah proses globalisasi yang berjalan cepat. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka juga sangat sulit untuk mengelak dari dinamika ekonomi internasional yang semakin mengglobal ini. Terbentuknya World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi melalui perdagangan internasional yang adil dan saling menguntungkan. Namun, Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian tidak memberikan keuntungan yang seimbang bagi negara berkembang seperti yang diperoleh negara maju, karena mengancam pasar domestik, terutama kesejahteraan petani produsen di negara-negara berkembang.

Jika dilihat kembali, sebenarnya dibalik semua kerugian-kerugian yang diterima, Indonesia juga memiliki sejumlah keuntungan-keuntungan dibalik Perjanjian Pertanian tersebut. Dengan adanya perjanjian tersebut, Indonesia dapat mengembangkan lagi sektor pertaniannya melalui pertemuan-pertemuan misalnya dengan melakukan semacam diskusi membahas mengenai peningkatan sektor pertanian dengan negara yang lebih dahulu maju. Selain itu, melalui perjanjian ini Indonesia dapat menambah partner dalam kerjasama pertanian. Meskipun hal ini sangat membutuhkan perhatian pemerintah terutama terhadap petani-petani di Indonesia untuk meningkatan kualitas hasil pertaniannya. Pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan subsidi yang besar kepada para petaninya, apalagi sampai memberikan pembayaran langsung. Sehingga petani, produsen lokal, hanya bergantung pada kebijakan tarif dan kebijakan yang memihak pada kepentingan mereka. Karena subsidi yang diberikan, seperti subsidi pupuk dan sarana produksi pertanian sangat terbatas.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1     Kesimpulan
Berdasarkan paparan permasalahan diatas, dapat disimpulkan bahwa Agreement on Agriculture (AoA)  merupakan perjanjian pertanian yang merupakan bagian dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995. Indonesia sendiri meratifikasi perjanjian ini juga pada tahun yang sama. Dari perjanjian tersebut, Indonesia dapat dikatakan mengalami cukup banyak kerugian. Terbukti dengan menurunnya angka ekspor Indonesia dibandingkan peningkatan dalam sektor impor. Padahal jika, dilihat sebelumnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup dipandang sebagai salah negara pengekspor. Dengan demikian, perekonomian Indonesia juga mengalami penurunan drastis. Tidak hanya dari segi ekonomi, dari segi politik, kedudukan Indonesia di mata internasional juga semakin lemah dan terancam. Posisi Indonesia sebagai negara pengimpor membuat sebagian negara-negara berusaha untuk menguasai perdagangan di Indonesia terlebih lagi dengan adanya liberalisasi perdagangan yang diterapkan oleh WTO.

Namun demikian, Indonesia juga tak selamanya merugi. Melalui perjanjian ini, Indonesia juga memperoleh sejumlah keuntungan melalui sejumlah kerjasama-kerjasama yang dihasilkan meskipun tidak sebanyak kerugian yang diderita oleh Indonesia.

4.2     Saran
Dalam permasalahan ini, ada sejumlah saran yang perlu penulis kemukakan. Pertama, pemerintah sebagai pengayom masyarakat dan juga sebagai wadah bagi masyarakat seharusnya turut berpartisipasi dalam usaha peningkatan hasil pertanian di Indonesia terutama dengan melakukan sosialiasi terhadap para petani di Indonesia. Kedua, pemerintah seharusnya memberikan subsidi terutama yang behubungan dengan peningkatan produksi pertanian. Selain itu juga, diperlukan kerjasama antara pemerintah dengan semua pihak yang terkait demi terciptanya peningkatan sektor pertanian Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Steans, Jill & Pettiford, Llyold.2009. Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jemadu, Aleksius.2008.Politik Global Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Perjanjian Pertanian dan Sanitari dan Fitosanitari dalam WTO,< http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=393&Itemid=158> (diakses 28/06/2012)
Pengaruh Perdagangan Internasional Terhadap Pertanian Indonesia: Kasus WTO, < http://ajiesaid.blogspot.com/2008/08/pengaruh-perdagangan-internasional.html> (diakses 28/06/2012)
Agreement on Agriculture Dalam WTO, <http://ardhiandavid.wordpress.com/2009/04/29/agreement-on-agriculture-dalam-wto/> (diakses 28/06/2012)
Perkembangan Perjanjian Pertania WTO, <http://artikelhukum.blogspot.com/2008/06/perkembangan-perjanjian-pertanian-wto.html> (diakses 28/06/2012)