Pendahuluan
Tulisan ini akan membahas mengenai
kasus perdagangan orang dan perdagangan seks yang terjadi di negara Vietnam.
Selain itu juga akan dibahas mengenai penyebab terjadi perdagangan orang dan
perdagangan seks di Vietnam dan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Vietnam untuk menanggulangi kasus tersebut.
Fenomena Perdagangan Orang di
Vietnam
Fenomena
perdagangan orang merupakan suatu bentuk kejahatan transnasional yang cukup
sulit terdeteksi dan juga ringan sanksi hukumnya bila dibandingkan dengan kasus
perdagangan obat-obatan terlarang. Pada dasarnya, kasus ini banyak terjadi di
sejumlah negara-negara miskin dan juga negara-negara yang rawan akan konflik.
Keinginan untuk lepas dari kondisi kemiskinan dan ingin memperoleh kehidupan
yang lebih merupakan salah satu alasan utama yang menjadikan banyak orang
menjadi korban dalam bisnis perdagangan orang.
Salah satu negara yang tidak lepas
dari kasus human trafficking adalah Vietnam. Vietnam merupakan salah satu
negara di kawasan Asia Tenggara yang
cukup dikenal dengan kasus perdagangan orang dan perdagangan seksnya. Negara
dengan populasi 83,6 juta jiwa ini merupakan negara asal, transit dan tujuan
perdagangan pria, wanita dan anak-anak untuk tujuan perdagangan seks dan kerja
paksa terutama di Asia Tenggara dan negara-negara di Asia lainnya.
Perempuan dan anak-anak Vietnam
diperdagangkan untuk eksploitasi dan tenaga kerja di Taiwan, Malaysia, Korea
Selatan, Laos, Uni Emirat Arab, Jepang, Cina, Thailand, Arab Saudi, Libya,
Indonesia, Inggris, Republik Ceko, Siprus, Swedia, Trinidad dan Tobago, Kosta
Rika, Rusia, dan di tempat lain di Timur Tengah. Selain menjadi negara asal,
Vietnam menjadi negara transit untuk anak-anak yang berasal dari Cina dan
Kamboja dan juga Vietnam merupakan negara tujuan bagi anak-anak dan wanita
untuk tujuan eksploitasi seksual. Salah satu yang yang paling digemari adalah
pariwisata seks dengan pelaku yang dilaporkan berasal dari
Jepang, Korea Selatan, Cina, Taiwan, Inggris, Australia, Eropa, dan Amerika
Serikat.
Menurut laporan United Nations Inter-Agency Project on Human Trafficking, ada
beberapa kondisi sosial-ekonomi yang menyebabkan rentan terjadinya perdagangan
orang di Vietnam, diantaranya kemiskinan dan jeratan hutang, kurangnya
kesadaran akan pendidikan, perpecahan dan masalah keluarga, serta beberapa
pengaruh eksternal seperti teman-teman, nilai konsumen , dan tekanan teman
sebaya. Selain itu, wanita Vietnam dan anak perempuan umumnya dianggap lebih
rentan terhadap perdagangan daripada pria karena hubungan gender yang tidak
setara, peningkatan permintaan untuk gadis perawan dan anak-anak dalam
pelacuran, dan peningkatan permintaan, dan penawaran, terhadap wanita Vietnam
untuk dijadikan istri karena diiming-imingi harga pengantin yang dijanjikan.
Dalam
kasus perdagangan seks dan perdagangan tenaga kerja, jeratan hutang, penyitaaan
dokumen pribadi dan ancaman deportasi merupakan ancaman yang diberikan kepada
korban. Banyak pria dan wanita di Vietnam bermigrasi ke luar negeri untuk
memperoleh kesempatan kerja terutama dalam bidang konstruksi, pertanian,
pertambangan, dan juga sektor manufaktur. Pada tahun 2010, lebih dari 85.000
pekerja bepergian ke luar negeri untuk bekerja, dan jumlah total pekerja
Vietnam yang bekerja di luar negeri di 40 negara dan wilayah ini diperkirakan
sekitar 500.000 orang. Banyak dari para migran diproses melalui perusahaan
tenaga kerja afiliasi negara dan swasta yang dilaporkan memaksa para migran
untuk menandatangani kontrak dalam bahasa yang
tidak bisa mereka baca, dan memungut biaya lebih dari yang diizinkan
oleh hukum, bahkan kadang-kadang sebanyak $ 10.000. Hal ini telah memaksa para
migran Vietnam menanggung beberapa hutang tertinggi di antara pekerja asing di
Asia dan membuat mereka sangat rentan terhadap jeratan hutang. Banyak wanita
dan anak-anak Vietnam menjadi sasaran prostitusi paksa setelah sebelumnya
diiming-imingi peluang kerja hingga akhirnya mereka dijual ke rumah bordil di perbatasan Kamboja, Cina dan
Laos. Bahkan mereka juga dijual hingga ke negara-negara ketiga seperti
Thailand, Malaysia Singapura dan negara-negara di Eropa. Beberapa wanita
Vietnam juga menjadi korban pernikahan palsu yang kemudian berujung pada kasus
kerja paksa dan prostitusi paksa.[1]
Perdagangan
orang dan perdagangan seks yang melibatkan wanita dan anak-anak Vietnam tidak
hanya dilakukan ke luar negara Vietnam saja tetapi juga di dalam negeri.
Beberapa sindikat perdagangan orang melalui tindakan premanisme memaksa
anak-anak untuk bekerja di jalanan, dipaksa mengemis, atau kerja paksa di
restoran di pusat-pusat utama kota-kota besar Vietnam.[2]
Sejumlah
laporan menunjukkan bahwa kasus perdagangan manusia dan perdagangan seks di
Vietnam diorganisir oleh jaringan kejahatan internasional. Seperti halnya yang
terjadi di Jepang yang diorganisir oleh kelompok yang disebut Yakuza dan juga
di Cina yang dijalankan kelompok Triad, di Vietnam juga terdapat sebuah
kelompok atau biasa disebut sebagai Geng Vietnam. Berakhirnya perang Vietnam
pada 1975 menyebabkan banyak pengungsi Vietnam yang bermigrasi ke Amerika
Serikat. Banyak dari pengungsi tersebut yang berasal dari geng-geng tertentu
yang kemudian juga berkembang di Amerika dengan merekrut remaja-remaja Vietnam
di Amerika untuk ikut bergabung. Melakukan melakukan berbagai tindakan kriminal
termasuk perdagangan obatan-obatan terlarang dan bisnis perdagangan manusia.
Geng-geng Vietnam ini juga terkenal dengan kekejamannya dalam mengintimidasi
para korbannya. Para korban biasanya mengalami siksaan fisik yang ekstrim dan
siksaan mental melalui pemerkosaan, penahanan dan aborsi. Geng-geng Vietnam
berbuat kasar dalam merekrut dan menculik kaum perempuan dan anak-anak.[3]
Berdasarkan laporan Trafficking in Persons pada tahun 2011,
Vietnam masuk ke dalam kategori Tier 2 Watch List. Hal ini disebabkan pemerintah
Vietnam tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk pemberantasan
perdagangan manusia, meskipun ada beberapa kebijakan yang telah dilakukan oleh
pemerintah Vietnam. Sepanjang tahun 2011, pemerintah Vietnam mengeluarkan UU
baru anti-perdagangan orang dan juga rencana untuk menanggulangi perdagangan
orang dalam jangka lima tahun. Namun,
sejumlah reformasi struktural yang dilakukan masih kurang berwujud nyata
terutama dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perdagangan manusia dan
perlindungan korban. Pada Maret 2011, pemerintah mengeluarkan sebuah Statuta
Anti-Perdagangan yang menyediakan daftar lengkap tindakan yang dilarang,
termasuk beberapa bentuk perdagangan sebelumnya yang tidak dilarang oleh
undang-undang lain, dan juga menyediakan upaya-upaya terhadap pencegahan perdagangan
manusia. Pemerintah juga menyatakan bahwa beberapa tindakan perdagangan orang
termasuk perdagangan tenaga kerja sudah
tercakup dalam KUHP Vietnam dan juga masing-masing memiliki bentuk hukum
pidana. Namun, pemerintah tidak memberikan informasi yang mendukung mengenai
sanksi dan tuntutan yang diberikan kepada pelaku kriminal dan pelaku yang
melanggar undang-undang perdagangan tenaga kerja. Vietnam secara terus-menerus
mempromosikan ekspor tenaga kerja sebagai salah satu cara untuk mengatasi pengangguran
dan mengentaskan kemiskinan melalui pengiriman uang valuta asing, meskipun
langkah-langkah lebih lanjut sangat diperlukan untuk melindungi hak-hak par
pekerja Vietnam dan untuk mencegah insiden baru perdagangan buruh, seperti
pelaksanaan hukum yang memadai untuk mengatur perusahaan perekrut tenaga kerja.
Namun, pemerintah Vietnam tidak juga mengambil langkah-langkah untuk
meningkatkan upayanya untuk mengatasi masalah perdagangan internal di Vietnam.[4]
Walaupun demikian, pemerintah
Vietnam tetap berupaya untuk mengatasi kasus perdagangan orang ini. Salah
satunya adalah dengan melakukan kerjasama untuk mengatasi eksploitasi dengan
China yang juga merupakan negara dengan tingginya tingkat kasus human
trafficking yang terjadi. Ada beberapa kerjasama yang berlangsung antara
Vietnam dan China. Pada tahun 2011, Vietnam dan China menandatangani nota
kesepakatan untuk mengatasi perdagangan manusia sehingga ada dasar hukum bagi
kerjasama. Hal ini juga disertai dengan sebuah proses sub-regional melibatkan negara-negara sub-regional Mekong,
termasuk China.[5]
Kesimpulan
Perdagangan orang dan perdagangan
seks bukanlah sebuah fenomena baru di dunia internasional, namun seiring dengan
perkembangan zaman dan arus globalisasi, kasus ini menjadi semakin marak
terjadi dan menjadi salah satu perhatian utama masyarakat internasional.
Vietnam sebagai salah satu negara yang mendapat peringatan mengenai tingginya
kasus human trafficking di negara ini
berupaya keras untuk keluar dari situasi tersebut. Kemiskinan, beberapa konflik
internai, rendahnya tingkat pendidikan dan juga adanya ketidaksetaraan gender
menjadi penyebab utama meningkatnya kasus perdagangan orang di Vietnam.
Beberapa kebijakan terus dilakukan pemerintah untuk mengatasi dan menghentikan
perkembangan kasus ini, salah satunya dengan mengeluarkan sebuah kebijakan
melalui Anti-Human Trafficking Law.
Daftar Pustaka
Brown, Louise. (2005).
Sex Slaves, Sindikat Perdagangan
Perempuan Di Asia. Jakarta: Buku
Obor
Cipto, Bambang.
(2006). Hubungan Internasional Di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Embassy of The
United States, Hanoi-Vietnam.( 2011). Vietnam (Tier 2 Watch List). http://vietnam.usembassy.gov/tip_report2011.html
International
and Community Develoment in Vietnam (2012). The
State of Human Trafficking in Vietnam. http://www.vnhelp.org/blog/2012/06/21/the-state-of-human-trafficking-in-vietnam-2012/
Voice of America.
(November 28, 2011). New Law in Vietnam
Tackle Changing Face of Human Trafficking. http://www.voanews.com/content/new-law-in-vietnam-to-tackle-changing-face-of-human-trafficking-134671708/168246.html
The
HumanTrafficking.org. (2011) Vietnam.
http://www.humantrafficking.org/countries/vietnam
[2] Dikutip dari http://www.vnhelp.org/blog/2012/06/21/the-state-of-human-trafficking-in-vietnam-2012/ (Diakses pada 20
Oktober 2012)
[3] Yusnrida Eka
Nizmi.2011.”Regionalisme dan Globalisasi.
Kajian Tematik: Perdagangan Orang Di Berbagai Belahan Dunia”.Pekanbaru:
Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau.
[4] Embassy of The
United States, Hanoi-Vietnam. http://vietnam.usembassy.gov/tip_report2011.html ( Diakses pada 20 Oktober 2012)
[5] Dikutip dari http://www.voanews.com/content/new-law-in-vietnam-to-tackle-changing-face-of-human-trafficking-134671708/168246.html (Diakses pada 20 Oktober 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar