Rabu, 14 November 2012

KASUS HUMAN TRAFFICKING DI VIETNAM


Pendahuluan
            Tulisan ini akan membahas mengenai kasus perdagangan orang dan perdagangan seks yang terjadi di negara Vietnam. Selain itu juga akan dibahas mengenai penyebab terjadi perdagangan orang dan perdagangan seks di Vietnam dan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam untuk menanggulangi kasus tersebut.
Fenomena Perdagangan Orang di Vietnam
            Fenomena perdagangan orang merupakan suatu bentuk kejahatan transnasional yang cukup sulit terdeteksi dan juga ringan sanksi hukumnya bila dibandingkan dengan kasus perdagangan obat-obatan terlarang. Pada dasarnya, kasus ini banyak terjadi di sejumlah negara-negara miskin dan juga negara-negara yang rawan akan konflik. Keinginan untuk lepas dari kondisi kemiskinan dan ingin memperoleh kehidupan yang lebih merupakan salah satu alasan utama yang menjadikan banyak orang menjadi korban dalam bisnis perdagangan orang.
            Salah satu negara yang tidak lepas dari kasus human trafficking adalah Vietnam. Vietnam merupakan salah satu negara di kawasan  Asia Tenggara yang cukup dikenal dengan kasus perdagangan orang dan perdagangan seksnya. Negara dengan populasi 83,6 juta jiwa ini merupakan negara asal, transit dan tujuan perdagangan pria, wanita dan anak-anak untuk tujuan perdagangan seks dan kerja paksa terutama di Asia Tenggara dan negara-negara di Asia lainnya.
            Perempuan dan anak-anak Vietnam diperdagangkan untuk eksploitasi dan tenaga kerja di Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, Laos, Uni Emirat Arab, Jepang, Cina, Thailand, Arab Saudi, Libya, Indonesia, Inggris, Republik Ceko, Siprus, Swedia, Trinidad dan Tobago, Kosta Rika, Rusia, dan di tempat lain di Timur Tengah. Selain menjadi negara asal, Vietnam menjadi negara transit untuk anak-anak yang berasal dari Cina dan Kamboja dan juga Vietnam merupakan negara tujuan bagi anak-anak dan wanita untuk tujuan eksploitasi seksual. Salah satu yang yang paling digemari adalah pariwisata seks dengan pelaku yang dilaporkan berasal dari Jepang, Korea Selatan, Cina, Taiwan, Inggris, Australia, Eropa, dan Amerika Serikat.
            Menurut laporan United Nations Inter-Agency Project on Human Trafficking, ada beberapa kondisi sosial-ekonomi yang menyebabkan rentan terjadinya perdagangan orang di Vietnam, diantaranya kemiskinan dan jeratan hutang, kurangnya kesadaran akan pendidikan, perpecahan dan masalah keluarga, serta beberapa pengaruh eksternal seperti teman-teman, nilai konsumen , dan tekanan teman sebaya. Selain itu, wanita Vietnam dan anak perempuan umumnya dianggap lebih rentan terhadap perdagangan daripada pria karena hubungan gender yang tidak setara, peningkatan permintaan untuk gadis perawan dan anak-anak dalam pelacuran, dan peningkatan permintaan, dan penawaran, terhadap wanita Vietnam untuk dijadikan istri karena diiming-imingi harga pengantin yang dijanjikan.
Dalam kasus perdagangan seks dan perdagangan tenaga kerja, jeratan hutang, penyitaaan dokumen pribadi dan ancaman deportasi merupakan ancaman yang diberikan kepada korban. Banyak pria dan wanita di Vietnam bermigrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesempatan kerja terutama dalam bidang konstruksi, pertanian, pertambangan, dan juga sektor manufaktur. Pada tahun 2010, lebih dari 85.000 pekerja bepergian ke luar negeri untuk bekerja, dan jumlah total pekerja Vietnam yang bekerja di luar negeri di 40 negara dan wilayah ini diperkirakan sekitar 500.000 orang. Banyak dari para migran diproses melalui perusahaan tenaga kerja afiliasi negara dan swasta yang dilaporkan memaksa para migran untuk menandatangani kontrak dalam bahasa yang  tidak bisa mereka baca, dan memungut biaya lebih dari yang diizinkan oleh hukum, bahkan kadang-kadang sebanyak $ 10.000. Hal ini telah memaksa para migran Vietnam menanggung beberapa hutang tertinggi di antara pekerja asing di Asia dan membuat mereka sangat rentan terhadap jeratan hutang. Banyak wanita dan anak-anak Vietnam menjadi sasaran prostitusi paksa setelah sebelumnya diiming-imingi peluang kerja hingga akhirnya mereka dijual ke  rumah bordil di perbatasan Kamboja, Cina dan Laos. Bahkan mereka juga dijual hingga ke negara-negara ketiga seperti Thailand, Malaysia Singapura dan negara-negara di Eropa. Beberapa wanita Vietnam juga menjadi korban pernikahan palsu yang kemudian berujung pada kasus kerja paksa dan prostitusi paksa.[1]
Perdagangan orang dan perdagangan seks yang melibatkan wanita dan anak-anak Vietnam tidak hanya dilakukan ke luar negara Vietnam saja tetapi juga di dalam negeri. Beberapa sindikat perdagangan orang melalui tindakan premanisme memaksa anak-anak untuk bekerja di jalanan, dipaksa mengemis, atau kerja paksa di restoran di pusat-pusat utama kota-kota besar Vietnam.[2]
Sejumlah laporan menunjukkan bahwa kasus perdagangan manusia dan perdagangan seks di Vietnam diorganisir oleh jaringan kejahatan internasional. Seperti halnya yang terjadi di Jepang yang diorganisir oleh kelompok yang disebut Yakuza dan juga di Cina yang dijalankan kelompok Triad, di Vietnam juga terdapat sebuah kelompok atau biasa disebut sebagai Geng Vietnam. Berakhirnya perang Vietnam pada 1975 menyebabkan banyak pengungsi Vietnam yang bermigrasi ke Amerika Serikat. Banyak dari pengungsi tersebut yang berasal dari geng-geng tertentu yang kemudian juga berkembang di Amerika dengan merekrut remaja-remaja Vietnam di Amerika untuk ikut bergabung. Melakukan melakukan berbagai tindakan kriminal termasuk perdagangan obatan-obatan terlarang dan bisnis perdagangan manusia. Geng-geng Vietnam ini juga terkenal dengan kekejamannya dalam mengintimidasi para korbannya. Para korban biasanya mengalami siksaan fisik yang ekstrim dan siksaan mental melalui pemerkosaan, penahanan dan aborsi. Geng-geng Vietnam berbuat kasar dalam merekrut dan menculik kaum perempuan dan anak-anak.[3]
            Berdasarkan laporan Trafficking in Persons pada tahun 2011, Vietnam masuk ke dalam kategori Tier 2 Watch List. Hal ini disebabkan pemerintah Vietnam tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk pemberantasan perdagangan manusia, meskipun ada beberapa kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Vietnam. Sepanjang tahun 2011, pemerintah Vietnam mengeluarkan UU baru anti-perdagangan orang dan juga rencana untuk menanggulangi perdagangan orang dalam jangka lima tahun. Namun,  sejumlah reformasi struktural yang dilakukan masih kurang berwujud nyata terutama dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perdagangan manusia dan perlindungan korban. Pada Maret 2011, pemerintah mengeluarkan sebuah Statuta Anti-Perdagangan yang menyediakan daftar lengkap tindakan yang dilarang, termasuk beberapa bentuk perdagangan sebelumnya yang tidak dilarang oleh undang-undang lain, dan juga menyediakan upaya-upaya terhadap pencegahan perdagangan manusia. Pemerintah juga menyatakan bahwa beberapa tindakan perdagangan orang termasuk  perdagangan tenaga kerja sudah tercakup dalam KUHP Vietnam dan juga masing-masing memiliki bentuk hukum pidana. Namun, pemerintah tidak memberikan informasi yang mendukung mengenai sanksi dan tuntutan yang diberikan kepada pelaku kriminal dan pelaku yang melanggar undang-undang perdagangan tenaga kerja. Vietnam secara terus-menerus mempromosikan ekspor tenaga kerja sebagai salah satu cara untuk mengatasi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan melalui pengiriman uang valuta asing, meskipun langkah-langkah lebih lanjut sangat diperlukan untuk melindungi hak-hak par pekerja Vietnam dan untuk mencegah insiden baru perdagangan buruh, seperti pelaksanaan hukum yang memadai untuk mengatur perusahaan perekrut tenaga kerja. Namun, pemerintah Vietnam tidak juga mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan upayanya untuk mengatasi masalah perdagangan internal di Vietnam.[4]
            Walaupun demikian, pemerintah Vietnam tetap berupaya untuk mengatasi kasus perdagangan orang ini. Salah satunya adalah dengan melakukan kerjasama untuk mengatasi eksploitasi dengan China yang juga merupakan negara dengan tingginya tingkat kasus human trafficking yang terjadi. Ada beberapa kerjasama yang berlangsung antara Vietnam dan China. Pada tahun 2011, Vietnam dan China menandatangani nota kesepakatan untuk mengatasi perdagangan manusia sehingga ada dasar hukum bagi kerjasama. Hal ini juga disertai dengan sebuah proses sub-regional  melibatkan negara-negara sub-regional Mekong, termasuk China.[5]
Kesimpulan
            Perdagangan orang dan perdagangan seks bukanlah sebuah fenomena baru di dunia internasional, namun seiring dengan perkembangan zaman dan arus globalisasi, kasus ini menjadi semakin marak terjadi dan menjadi salah satu perhatian utama masyarakat internasional. Vietnam sebagai salah satu negara yang mendapat peringatan mengenai tingginya kasus human trafficking di negara ini berupaya keras untuk keluar dari situasi tersebut. Kemiskinan, beberapa konflik internai, rendahnya tingkat pendidikan dan juga adanya ketidaksetaraan gender menjadi penyebab utama meningkatnya kasus perdagangan orang di Vietnam. Beberapa kebijakan terus dilakukan pemerintah untuk mengatasi dan menghentikan perkembangan kasus ini, salah satunya dengan mengeluarkan sebuah kebijakan melalui Anti-Human Trafficking Law.        

Daftar Pustaka
Brown, Louise. (2005). Sex Slaves, Sindikat Perdagangan Perempuan Di Asia. Jakarta: Buku   Obor
Cipto, Bambang. (2006). Hubungan Internasional Di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Embassy of The United States, Hanoi-Vietnam.( 2011). Vietnam (Tier 2 Watch List). http://vietnam.usembassy.gov/tip_report2011.html
International and Community Develoment in Vietnam (2012). The State of Human Trafficking in Vietnam. http://www.vnhelp.org/blog/2012/06/21/the-state-of-human-trafficking-in-vietnam-2012/
Voice of America. (November 28, 2011). New Law in Vietnam Tackle Changing Face of Human Trafficking. http://www.voanews.com/content/new-law-in-vietnam-to-tackle-changing-face-of-human-trafficking-134671708/168246.html
The HumanTrafficking.org. (2011) Vietnam. http://www.humantrafficking.org/countries/vietnam
 

[3] Yusnrida Eka Nizmi.2011.”Regionalisme dan Globalisasi. Kajian Tematik: Perdagangan Orang Di Berbagai Belahan Dunia”.Pekanbaru: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau.
[4] Embassy of The United States, Hanoi-Vietnam. http://vietnam.usembassy.gov/tip_report2011.html   ( Diakses pada 20 Oktober 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar