A.
Latar Belakang
Berdasarkan
latar belakang sejarah, hubungan antara Amerika Serikat dengan India dapat
dikatakan tidak selalu berjalan dengan mulus. Ketika Perang Dingin mendominasi
dunia politik internasional, India memilih untuk menjadi sebuah negara
Non-Blok, dimana India memperoleh keuntungan ganda dari kedua negara yang
berkuasa pada masa itu yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun, kedekatan
yang diperlihatkan oleh India dengan Uni Soviet pada masa itu menimbulkan
kecemburuan tersendiri bagi Amerika Serikat yang kemudian mengakibatkan
rusaknya hubungan bilateral antara kedua negara tersebut. Uni Soviet pada masa
itu sangat mendukung pengembangan reaktor nuklir di India bahkan Uni Soviet
mendominasi suplai pasokan senjata di India. Namun setelah berakhirnya Perang Dingin,
dimana Amerika berdiri sebagai negara adidaya satu-satunya membuat India harus
memperbaiki hubungannya dengan Amerika Serikat demi kemajuan negaranya.
Setelah uji
coba nuklir pada tahun 1998, India mendapat kecaman dari seluruh negara-negara
di penjuru dunia termasuk Amerika dengan menjatuhkan sanksi dan embargo ekonomi
terhadap India. Berkat kemampuan
diplomasinya, India berhasil memperbaiki hubungannya dengan Amerika Serikat
sehingga sanksi dan embargo dicabut. Hubungan India dengan Amerika Serikat
mengalami sebuah kemajuan pesat setalah adanya kunjungan Presiden Clinton ke
India pada tahun 2000.
Kunjungan ini
menandai hubungan baru antara Amerika Serikat-India dimana Amerika Serikat
akhirnya keberadaan India sebagai sebuah pemain besar di perpolitikan dunia.
Hubungan ini juga semakin bertambah kuat setelah Presiden George W. Bush melakukan
kunjungan ke India pada awal Maret 2006 yang semakin memperjelas maksud Amerika
Serikat untuk memperkuat posisinya di dunia internasional dengan melakukan
pendekatan melalui India.
Kedekatan
baru yang ditunjukkan oleh AS dan India ini menandai terjadinya pernikahan dua
buah demokrasi di dunia: demokrasi tertua (AS) dan demokrasi terbesar (India).
Pernikahan ini ditunjukkan melalui penandatanganan perjanjian nuklir India – AS
pada tanggal 2 Maret 2006 di New Delhi sebagai lanjutan dari penandatanganan
perjanjian serupa pada tanggal 18 Juli 2005 di Washington.[1]
Menurut Presiden George W. Bush kerjasama dengan India
dapat menjadi insentif bagi negara itu agar
memiliki tanggung jawab yang sama seperti kelima kekuatan nuklir lainnya
yaitu AS, Perancis, Inggris, Rusia dan Cina. Argumen ini menentang kebijakan AS
mengatakan bahwa konsesi yang diberikan kepada India (yang notabene tidak
menandatangani rezim NPT[2])
akan memperlemah pelaksanaan rezim NPT itu sendiri. Jepang merupakan contoh
yang baik bagi negara-negara lainnya karena meskipun negara itu memiliki
kemampuan yang tinggi dalam bidang industri
nuklir, namun tetap taat untuk mematuhi peraturan yang terdapat dalam
rezim NPT.
Ada beberapa alasan lain mengapa AS melakukan
pendekatan terhadap India dalam hal kerjasama nuklir. Pertama, di mata AS,
India adalah negara demokrasi terbesar di dunia dan karena itu dapat diandalkan
sebagai mitra yang bisa diajak kerjasama termasuk dalam bidang keamanan. AS
berasumsi bahwa peluang terjadinya konflik terbuka dengan India sebagai negara
demokrasi lebih rendah dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan besar lainnya
khususnya Cina. Kedua, bersama dengan Jepang dan Australia yang menjalin
kerjasama militer dengan AS, “pengepungan” (encirclement)
terhadap Cina diperkuat. Ketiga, meskipun AS menjalin kerjasama yang erat
dengan Pakistan di bawah Presiden Musharraf, namun masa depan hubungan itu
tidak pasti baik karena pergantian rezim ataupun resistensi terhadap
pemerintahan Musharraf dari kelompok Islam garis keras. Akhirnya, kemajuan
teknologi nuklir yang dimiliki oleh India merupakan daya tarik tersendiri bagi
AS sehingga negara itu terdorong untuk melakukan kerjasama yang lebih dekat
dalam bidang nuklir untuk tujuan damai. Melalui kerjasama itu AS memiliki lebih
banyak sekutu untuk menghadapi sepak terjang Iran yang juga memiliki ambisi
untuk mengembangkan senjata nuklir. Dunia internasional harus prihatin dengan
kebijakan yang diambil oleh AS karena keberhasilan rezim NPT merupakan jaminan
internasional bagi pencegahan proliferasi senjata nuklir.[3]
Disisi lain, India juga memiliki pemikiran tersendiri
tentang kerjasama nuklir dengan US. Bagi India, kerjasama ini kurang lebih sangat
menguntungkan. Pertama, secara tidak langsung AS menunjukan pengakuannya kepada
India sebagai negara yang diberikan tanggung jawab nuklir. Kedua, India
memiliki akses kesempatan untuk mendapatkan teknologi nuklir yang lebih besar
tanpa tekanan yang diberikan oleh Amerika seperti halnya yang terjadi kepada
Iran dan Korea Utara. Selain itu dengan adanya teknologi nuklir ini, India
dapat menekan kebutuhan energinya yang berasal dari minyak dan gas alam yang
diimpor dari Timur Tengah.
B.
Tinjauan
Teoritis
Dalam berbagai
literatur politik internasional dapat ditemukan berbagai istilah yang berkaitan
dengan strategi yang yang dilakukan oleh negara-negara yang memiliki senjata
nuklir untuk mempertahankan eksistensinya dan mencapai tujuan-tujuan strategis
lainnya. Bagi negara adidaya seperti
Amerika Serikat, diperlukan berbagai strategi untuk mencapai posisi unggul baik
dalam hal kualitas maupun kuantitas senjata nuklir yang dimilikinya. Strategi
umum yang dilakukan oleh negara yang memiliki senjata nuklir adalah penangkalan
(deterrence), artinya senjata nuklir dibangun untuk mencegah lawan melakukan
hal yang tidak diinginkan. Keberhasilan strategi penangkalan sangat ditentukan
oleh kredibilitas ancaman di mata lawan. Ada beberapa jenis strategi
penangkalan, salah satunya yang disebut dengan Mutually Assured Destruction atau MAD yang artinya kedua negara
nuklir yang saling berhadapan meyakinkan lawannya bahwa negara tersebut mampu
menimbulkan dampak kehancuran yang sama bila diserang. Jadi kedua-duanya
memiliki second strike capability yang meyakinkan. Akibatnya kedua negara
tersebut tidak terdorong untuk memulai serangan terlebih dahulu (first strike). Strategi lain yang juga
digunakan adalah compellance atau pemaksaan. Berbeda dari deterrence,
compellence adalah suatu tindakan nyata yang dimaksudkan untuk membangun
momentum untuk memaksa negara lawan melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya
atau tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya ingin dilakukannya untuk mencapai tujuannya.[4]
Berdasarkan
pandangan realisme, negara selalu berjuang untuk mendapatkan kepentingan
nasionalnya. Kepentingan nasional suatu negara berusaha untuk mengejar
kekuasaan yang terbentuk dalam mempertahankan pengendalaian suatu negara atas
negara lain. Kepentingan dan kekuasaan merupakan tujuan dari tindakan politik
internasional. Maka dari itu biasanya untuk mempertahankan kepentingan tersebut
menggunakan segala macam cara termasuk mengerahkan seluruh power yang
dimilikinya. Negara besar seperti AS, memiliki ketakutan tersendiri terhadap
negara-negara lain yang akan menyatakan kebangkitannya dan berhasil mengungguli
AS terutama dalam hal pertahanan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep Security Dilemma. Security Dilemma adalah salah satu konsep
dalam teori realisme yang muncul akibat adanya aksi dari suatu negara untuk
meningkatkan keamanan negaranya namun di satu sisi ini menimbulkan reaksi dari
negara lain yang juga ingin meningkatkan keamanannya yang pada akhirnya hal ini
menyebabkan penurunan kemanan di negara pertama. Hal inilah kemudian yang
mendorong AS untuk bekerja sama dengan negara lain sebagai upaya untuk mencari
sekutu serta mempertahankan eksistensinya.
Di sisi lain,
konsep security dilemma memperlihatkan
bahwa AS dirudung berbagai kekhawatiran dan kecemasan yang melahirkan berbagai
kecurigaan terutama terhadap sejumlah negara-negara yang sedang mengembangkan
persenjataan nuklir. Oleh karena itu,
untuk meminimalisir ketakutan tersebut, AS menggunakan strategi kerjasama yang
dapat menyeimbangkan keadaan. Dukungan AS terhadap pengembangan nuklir di India
dapat dinilai sebagai salah satu upaya AS untuk untuk mengamankan diri dari
India yang notabene memiliki senjata nuklir. Dengan melalui kerjasama ini, AS
berharap mengendalikan dan mengarahkan India sesuai dengan kepentingannya.
DAFTAR PUSTAKA
Jemadu,
Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Burchill,
Scott & Linklater, Andrew.1996.Teori-Teori Hubungan Internasional. Bandung:
Nusa Media
Steans, Jill
& Pettiford, Lloyd.2009.Hubungan Internasional Perspektif dan
Tema.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ahmad Qisa’i dalam artikel yang berjudul “Implikasi
Internasional Perjanjian Nuklir India – AS”
http://qisai-indo.blogspot.com/ yang diakses pada tanggal 20 Maret 2012
[1] Ahmad Qisa’i, PH.D dalam artikel yang berjudul “Implikasi Internasional Perjanjian Nuklir India – AS” http://qisai-indo.blogspot.com/ yang diakses pada tanggal 20 Maret 2012
[2] NPT (Non-Poliferation Treaty)
merupakan perjanjian untuk membatasi penyebaran senjata nuklir. Saat ini, ada 5
negara yang diakui memiliki senjata nuklir yakni Amerika Serikat, Rusia,
Inggris, Prancis dan Cina. Sedangkan India tidak pernah menandatangani NPT dan
diyakini memiliki sejumlah senjata nuklir.
[4]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar