BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sejak berakhirnya Perang Dingin pada akhir tahun 1980an, isu HAM menjadi perdebatan hangat dalam politik
internasional. Pelanggaran HAM yang terjadi dimana-mana dan dalam jumlah kasus
yang semakin meningkat mendorong aktor-aktor internasional untuk memberikan
perhatian yang serius terhadap faktor-faktor yang mendorong pelanggaran HAM
serta cara untuk mengatasinya. Pelanggaran HAM dalam bentuk pembunuhan massal
(mass killings), penyiksaan, pemerkosaan, penculikan dan penahahan tanpa proses
pengadilan merupakan gejala umum terjadi di negara-negara yang dilanda konflik
separatis atau komunal.
Sejalan dengan kemenangan ideologi liberalisme perhatian terhadap hak
individu dan kelompok meningkat dan kedaulatan negara tidak lagi dilihat
sebagai hambatan untuk promosi hak azasi manusia. Hal ini tidak berarti bahwa
dalam periode sebelumnya isu hak azasi manusia tidak diperhatikan, namun isu
keamanan nasional dan internasional mendominasi percaturan politik dunia
sehingga negara menjadi aktor utama yang menjadi unit analisis. Sejak tahun
1948 dunia telah memiliki Universal
Declaration of Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk
menghormati hak azasi manusia.
Dalam periode selanjutnya komunitas internasional menghasilkan berbagai
konvensi dan perjanjian internasional sebagai bentuk komitmen terhadap
pentingnya hak azasi manusia. Eksistensi Konvensi Internasional tentang HAM
tidak dengan sendirinya menjamin penghormatan terhadap HAM. Politik dunia tidak
selalu didikte oleh nilai-nilai idealis tetapi kepentingan manusia secara
individual maupun kelompok. Karena itu politik pelaksanaan HAM merupakan topik
yang menarik perhatian dalam analisis politik global kontemporer. Perdebatan
antara kaum realist dan pluralist terus
berlangsung dan pelaksanaan HAM masing sangat ditentukan oleh kebijakan negara
meskipun aktor-aktor lain juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan tersebut.
I.2 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai isu hak azasi manusia
(HAM) dan juga mengenai permasalahan kasus kejahatan genosida serta
penyelesaian kasus kejahatan HAM dan genosida.
I.3 Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini akan dibahas sejumlah permasalahan diantaranya:
1.
Apa yang
dimaksudkan dengan konsep HAM dan perkembangannya di dunia internasional ?
2.
Apa yang
dimaksud dengan kejahatan genosida dan bagaimana reaksi masyarakat
internasional terhadap kasus tersebut ?
3. Berikan contoh studi kasus terhadap permasalahan HAM
dan Kejahatan Genosida!
BAB II
ISU HAK
AZASI MANUSIA DAN KEJAHATAN GENOSIDA
II.1
Definisi Konsep HAM
Menurut Rhoda E. Howard
dalam bukunya yang berjudul HAM, hak asasi manusia
adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia. Setiap manusia
mempunyai hak asasi dan tidak seorang pun boleh diingkari hak asasinya tanpa
keputusan hukum yang adil. Secara umum dapat dikatakan hak asasi manusia adalah
hak yang diperoleh dan dibawa manusia bersama dengan kelahiran serta
kehadirannya dalam kehidupan masyarakat tanpa membedakan bangsa, ras, agama dan
jenis kelamin karena sifatnya yang asasi dan universal. Maka pengakuan HAM
mengandung arti bahwa HAM harus dilindungi, baik terhadap tindakan para
pemegang kekuasaan maupun terhadap tindakan perseorangan secara melanggar atau
mengurangi hak tersebut.
Dalam Mukadimah Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (1966), dicanangkan : “Hak-hak ini berasal
dari harkat dan martabat yang melekat pada manusia (These rights derive from the inherent dignity of the human person)”.
Hak ini sangat mendasar atau asasi (fundamnetal) sifatnya, yang mutlak
diperlukan agar manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama atau
gender.
Namun, salah satu hambatan utama dalam promosi HAM adalah bahwa masih
terdapat sejumlah perdebatan terhadap definisi HAM itu sendiri. Negara-negara
Barat cenderung berasumsi bahwa tradisi HAM liberal yang dianutnya secara
otomatis berlaku seca universal karena gagasan inilah yang diadopsi dalam
berbagai konvensi HAM internasional. Perdebatan definisi seperti ini lebih
sering disebabkan oleh pertimbangan politk daripada persoalan keilmuan terutama
karena negara-negara yang keberatan dengan universalisme HAM kebetulan menerapkan
sistem yang politik yang tidak demokratis dan pemerintah mengendalikan
kebebasan politik rakyat untuk melanggengkan kekuasaannya. Karena argumen yang
dikemukakan oleh mereka yang tidak
menerima universalisme HAM didasarkan pada pertimbangan kepentingan politik,
maka kecenderungan yang terdapat dalam hampir semua literatur politik dunia
adalah menerima kenyataan bahwa pluralisme budaya atau bahkan kedaulatan negara
tidak bisa dijadikan alasan untuk membatalkan martabat manusia sebagai manusia.
Berdasarkan konsep diatas, definisi yang dikemukakan oleh Jack Donelly
sangat relevan untuk prinsip universalisme HAM. Menurutnya, HAM bukan pemberian
dari lembaga eksternal apapun tetapi melekat pada seorang individu karena
status dan marabatnya sebagai manusia. Solidaritas umat manusia secara global
harus diberikan ruang yang cukup untuk mempermasalahkan setiap bentuk
pelanggaran HAM dimana pun hal itu terjadi. Pemerintah tidak bisa berdalih atas
nama kedaulatan untuk melindungi pelanggaran yang telah dilakukannya. Dalam hal
ini negara harus responsif terhadap tuntutan atau tekanan aktor-aktor lain di
luar dirinya terutama civil society untuk mempromosikan HAM demi kemajuan
kemanusiaan.
III.2 Sejarah Perkembangan HAM
a.
Hammurabi
Dasar-dasar perlindungan HAM ternyata telah ada
sejak zaman mesopotamia. Hal ini diketahui setelah ditemukannya kodifikasi
hukum yang dibuat oleh Hammurabi, Raja keenam Babylonia (1792-1750 SM), di
Irak. Kode (codex) Hammurabi berisi 282 pasal ekonomi, keluarga dan sipil.
Kumpulan hukum yang berbentuk balok hitam itu ditemukan di Susa tahun 1901
dalam suatu ekspedisi yang dilakukan arkeolog Perancis di bawah pimpinan M de
Morgan.
Codex Hammurabi, yang
terdiri dari 282 pasal ditambah Prolog dan Epilog, tidak saja berpengaruh
terhadap kumpulan hukum yang terdapat di dalam Alkitab, tetapi juga pada sistem
hukum pada periode selanjutnya. Yang menarik adalah kumpulan hukum itu juga
mengingatkan kita bahwa sejak abad 18 SM, di Mesopotamia sudah ada pemimpin
besar yang sungguh ingin memajukan hak asasi manusia secara adil.
b. Sejarah
Lahirnya HAM di beberapa negara di dunia
1. Inggris
Hak asasi di Inggris
mula-mula lahir dengan ditandatanganinya sebuah piagam yang dikenal dengan Magna Charta pada tahun 1215 sebagai
bentuk tuntutan para baron terhadap Raja Inggris, Raja John yang berlaku
sewenang-wenang. Dalam
perjalanannya Inggris meletakkan dasar-dasar HAM yang penting lainnya. Pada
tahun 1629 masyarakat mengajukan Petition
of Right (petisi hak asasi manusia) yang berisi tentang pajak yang dipungut
kerajaan harus mendapat persetujuan Parlemen Inggris, petisi juga memuat bahwa
warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya, tentara tidak
boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai. Petisi ini dikeluarkan pada
masa Raja Charles I berkuasa.
Inggris juga mencatat
statuta hak-hak sipil lain. Statuta tersebut adalah Hobeas Corpus Act tahun 1679, pada masa Raja Charles II dan Bill of Rights tahun 1689, pada masa
Williem II. Hobeas Corpus Act
menyatakan bahwa penangkapan terhadap seseorang hanya dapat dilakukan apabila
disertai dengan surat-surat lengkap dan sah.
Sedangkan Bill of Rights
menyatakan mengenai kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen, kebebasan
berbicara dan mengeluarkan pendapat, pajak, UU, pembentukan tentara tetap melalui
izin parlemen, hak warga negara untuk memeluk agama menurut agama dan
kepercayaan masing-masing, dan parlemen berhak mengubah keputusan raja.
2.
Amerika
Pada tahun 1776,
sebagai koloni Inggris, Amerika Serikat menggunakan ide-ide Locke untuk
memerdekakan diri dari penjajahan Inggris. Di Amerika Serikat, The Revolutionary War (1775-1783) telah
memerdekakan Amerika dari penjajahn Inggris. Revolusi ini berawal dari
pertempuran Lexington dan Concord. Dan setahun kemudian (1776) Amerika
mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris. Slogan-slogan Hak-hak Asasi
Manusia diangkat dalam Declaration of
Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika yang ditulis Thomas Jefferson. Substansi dari Declaration of Independence,
yaitu hak-hak alam seperti hak-hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Pada tahun 1789 rakyat Amerika
Serikat mencetuskan sebuah amandemen yang dikenal dengan nama Bill of Rights. Isi penting dari Bill of Rights ini adalah jaminan
terhadap hak-hak dasar seperti kebebasan
berbicara, pers, beragama dan sebagainya. Isi dari Bill of Rights Amerika
disusun berdasarkan ilham dari Magna
Charta, Bill of Rights Inggris,
dan Declaration of Rights Virginia.
3.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
Pada
tahun 1941 diadakan perudingan antara Presiden Roosevelt dengan Perdana Menteri
inggris Winston Churchill guna meyelesaikan permasalahan Perang Dunia II.
Perundingan itu menghasilkan beberapa kesepakatan yang dikenal dengan Piagam
Atlantik (Atlantic Charter).
Tiga
isi pokok dari piagam itu adalah :
a. Tidak
boleh ada perluasan daerah tanpa persetujuan penduduk asli.
b. Setiap
bangsa berhak menentukan dan menetapkan bentuk pemerintahannya sendiri.
c. Setiap
bangsa berhak mendapat kesempatan untuk bebas dari rasa takut dan bebas dari
kemiskinan.
Pada 24 Oktober 1945,
dalam konferensi di San Fransisco, Amerika, para wakil dari 50 negara
menandatangani piagam pembentukan PBB, yang disebut Piagam San Fransisco. Isi
substansial dari piagam PBB ini menyebutkan “Kami akan meneguhkan keyakinan
akan dasar-dasar hak manusia sebagai manusia sesuai dengan harkat dan derajat
manusia berdasarkan hak-hak yang sama...Seperti berusaha memajukan rakyat dan
tingkat kehidupan yang lebih baik dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas”.
Tahun 1966, dalam
sidang Majelis Umum PBB, Covenant of Human Rights, diakui dalam hukum
internasional dan diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB. Perjanjian
tersebut antara lain memuat :
1.
The International on Civil an Political
Rights (merumuskan hak-hak sipil)
2.
Optional Protocol
3.
The International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (merumuskan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya,
biasa disingkat hak ecosoc).
III.3 Falsafah Politik Hak-Hak Asasi
Manusia
Alasan
yang mendasari persetujuan-persetujuan mengenai hak-hak asasi manusia,
upaya-upaya untuk melaksanakannya dan kebijakan-kebijakan terkait merupakan
pandangan manusia politik dan kekuasaan publik. Pandangan-pandangan mengenai
hak-hak asasi manusia timbul dari tiga orientasi umum filosofis : koservatisme,
liberalisme dan komunisme.
1.
Konservatisme
Konservatisme sebagai
salah satu falsafah tentang hak-hak manusia yang tak sama. Konservatisme
ekstrem disebut dengan fasisme. Fasisme lebih banyak ditekankan pada emosi
daripada pemikiran yang jernih. Di bawah fasisme, kelompok yang berkuasa
mempunyai hak lebih banyak daripada yang lain.
Pada konservatisme
klasik, tidak ada persamaan kebenaran dan juga tidak memerlukan usaha untuk
mencipatakan kondisi-kondisi materiil yang sama. Konservatisme modern menganut falsafah
perampasan segala hak orang banyak sehingga sistem perbankan dan moneter yang
dikuasai oleh elite tanpa melalui pemilihan dan untuk elite ini juga dapat
terus berlangsung secara lancar dan menguntungkan. Dari
sudut pandang praktis, konservatisme dikecam banyak pihak karena ketidaksamaan
dianggap tidak layak, tidak adil dan tidak dapat diterima.
2.
Liberalisme
Falsafah ini
menitik beratkan pada persamaan harkat dan autonomi individu. Para penganut
liberalisme percaya bahwa manusia bermoral dan masyarakat bermoral dapat
dikembangkan. Ada
2 dasar utama bagi aliran liberal. Yang pertama aliran hukum alam yang dilihat
sebagai inspirasi hak-hak asasi manusia. Pemikiran ini mengatakan bahwa manusia
mempunyai hak-hak yang tak bisa diganggu gugat, karena manusia berada dalam
tata yang lebih luas yang menetapkan bahwa mereka mempunyai hak-hak asasi.
Dasar kedua adalah pemikiran tentang manfaat pengejaran kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia melalui kebebasan persamaan.
3.
Komunalisme
Falsafah
ini dikenal dengan penitik beratannya
yang disertai atas sementara kelompok, seperti kelas, bangsa nasional.
Komunalisme menekankan bahwa individu senantiasa didapati dalam kelompok dan
kesejahteraan individu senantiasa terjalin dengan peruntungan kelompok.
Kenyataan inilah yang mengatur hak-hak mereka.
III. 4
Kejahatan Genosida
Istilah genosida (genocide) diciptakan oleh Raphael
Lemkin tahun 1944 untuk memperlihatkan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh
orang-orang Nazi di Eropa. Genosida sendiri berarti pemusnahan seluruh kelompok
manusia yang memiliki ciri umum etnis, rasial atau agama.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi kasus kejahatan
genosida. Pertama, genosida itu dihubungkan dengan perang penaklukan. Akibat
yang selalu berulang terjadi dari keadaan ini adalah pembantaian massal dari
penduduk negeri-negeri yang dikalahkan. Kedua, agama seringkali membenarkan
pemusnahan seluruh kelompok dari musuh-musuh keagamaan. Seperti Perang Salib di
abad-abad pertengahan dan pembunuhan massal terhadap orangArab, tetapi juga
orang Yahudi, menggambarkan dengan baik sekali tindakan-tindakan ekstrem yang
dapat menimbulkan pertikaian dan kebencian agama terhadap orang-orang yang
menganut suatu kepercayaan lain. Ketiga, dominasi kolonial oleh negara-negara
Eropa di Amerika Latin, Asia dan Afrika merupakan kesempatan atau alasan untuk
menghancurkan seluruh rakyat atau penduduk asli.
Menurut I. L. Horowitz genosida merupakan suatu
mekanisme utama untuk mempersatukan negara nasional. Sebauh sifat umum
selanjutnya adalah bahwa para pelaku genosida itu memperoleh keuntungan ekonomi
dari pembunuhan itu dengan jalan mengambil alih barang-barang yang dimiliki
para korban itu. Selanjutnya ada suatu hal yang menjadikan kedua genosida itu
serupa: ideologi yang melatarbelakangi, yaitu suatu ideologi yang bertujuan
menganggap pihak lain, anggota dari kelompok yang berbeda sebagai “bukan
manusia”, sebagai suatu yang dibenci karena tidak ikut serta dalam nilai-nilai
masyarakat dari kelompok yang dominan.
III.5
Konvensi Genosida
Konvensi Genosida dibentuk tahun 1946-1948. Konvensi
dianggap sebagai suatu mekanisme yang menentukan dalam pertarungan menentang
genosida: karena itu bagi pendirinya tampak bahwa dengan merumuskannya mereka
telah membuat suatu terobosan besar dalam sejarah umat manusia. Dalam
kenyataannya hal ini yang menjadi tumpuan harapan demikian banyaknya orang di
sekian banyak negara berakhir sebagai suatu hampir merupakan kegagalan total.
Konvensi itu menyatakan bahwa genosida merupakan suatu kejahatan internasional
yang dapat dihukum, baik dilakukan di waktu perang atau di masa damai, genosida
menentukan siapa yang dihukum karena tindakan-tindakan genosida dan pada
akhirnya menentukan siapa yang akan melaksanakan hukuman itu.
Menurut
Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman terhadap kejahatan pembunuhan
massal (genosida) ini, telah ditetapkan empat mekanisme untuk mengadili pelaku
genosida: pertama, diadili di depan pengadilan negara yang di wilayahnya telah
dilakukan tindakan genosida itu; kedua, pelaku tindakan genosida dapat pula
diajukan di depan pengadilan internasional yang akan didirikan; ketiga, pelaku
tindakan genosida dapat diajukan ke badan-badan PPB yang berwenang; keempat
diajukan ke depan Mahkamah Pengadilan Internasional.
Konvensi ini memiliki kelebihan tersendiri terutama
dengan definisi genosida secara rinci, kenyataan bahwa ia melarang
kejahatan-kejahatan yang dilakukan dimasa damai serta kenyataan bahwa ia juga
menjadikan para pejabat negara dapat dihukum.
Terlepas dari kebaikan-kebaikannya tersebut, konvensi tersebut tetap
memiliki kelemahan. Komvensi itu lebih banyak hanya merupakan sebuah catatan
protes menentang tindakan-tindakan kebuasan individu atau kelompok daripada
merupakan suatu mekanisme yang efektif untuk menekan atau mencegahnya.
III. 6
Studi Kasus
Kasus
Pemusnahan Orang Yahudi oleh Nazi (Holocaust)
Kasus genosida Nazi atau yang biasa disebut sebagai Holocaust ini terjadi
pada tahun 1939-1455. Holocaust adalah peristiwa pemusnahan
hampir seluruh Yahudi Eropa oleh Nazi Jerman dan kelompoknya selama Perang
Dunia II. Orang Yahudi sering menyebut peristiwa ini sebagai Shoah, istilah
Ibrani yang berarti malapetaka atau bencana hebat. Holocaust sendiri berasal
dari bahasa Yunani, holo yang artinya seluruh, dan caustos yang berarti
terbakar. Secara umum, holocaust artinya adalah persembahan api atau
pengorbanan religius dengan pembakaran. Konon, Nazi Jerman dipercaya telah
memusnahkan sekitar 5,6 sampai 5,9 juta orang Yahudi, setidaknya angka inilah
yang selalu didengung-dengungkan dan dikampanyekan oleh Yahudi.
Holocaust tidak
lepas dari kebencian Jerman kepada Yahudi. Perang Dunia I (PD I) menyisakan
Jerman sebagai pecundang, dan Jerman tanpa tedeng aling-aling menyebut Yahudi
sebagai pengkhianat yang membuat negara Bavarian itu hancur. Hal itu diperkuat
dengan kejadian pada akhir PD I, sekelompok Yahudi mengobarkan revolusi ala
Bolshevik Soviet di negara bagian Jerman, Bavaria.
Jumlah korban
Yahudi umumnya dikatakan mencapai enam juta jiwa. Genosida ini yang diciptakan
Adolf Hitler dilaksanakan, antara lain, dengan tembakan-tembakan, penyiksaan,
dan gas racun, di kampung Yahudi dan Kamp konsentrasi. Selain kaum Yahudi,
kelompok-kelompok lainnya yang dianggap kaum Nazi "tidak disukai"
antara lain adalah bangsa Polandia, Rusia, suku Slavia lainnya, penganut agama
Katolik Roma, orang-orang cacat, orang cacat mental, homoseksual, Saksi-Saksi
Yehuwa (Jehovah's Witnesses), orang komunis, suku Gipsi (Orang Rom dan Sinti)
dan lawan-lawan politik. Mereka juga ditangkap dan dibunuh. Jika turut
menghitung kelompok-kelompok ini dan kaum Yahudi juga, maka jumlah korban
Holocaust bisa mencapai 9-11 juta jiwa.
Yahudi dianggap
sebagai bangsa yang berbahaya. Ketika Nazi naik panggung politik, kebijakan
yang menekan Yahudi pun diterapkan. Hak-hak Yahudi dicabut, harta benda mereka
disita, rencana untuk mengusir mereka keluar Jerman dirancang, sampai, konon,
pemusnahan fisik yang berarti pembantaian.
Musim semi 1941, Nazi mulai membantai Yahudi di Uni Soviet yang dianggap
sebagai sumber hidup Bolshevisme. Kamp pembantaian untuk Yahudi mulai dibangun
di Auschwitz, Dachau, Bergen-Belsen. Kamp itu dilengkapi kamar gas dan tungku
besar. Mereka menggunakan kamar gas untuk membunuh orang Yahudi. Beberapa orang
Yahudi dimasukkan ke dalam kamar gas, kemudian gas Zyklon-B, sebuah gas
pestisida berbahan dasar asam hidrosianik, dialirkan.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya
kasus ini. Pertama, proporsinya dimungkinkan oleh adanya negara modern dengan
aparat birokrasinya, pemusatan kekuasaannya dan monopoli sumberdaya ekonomi dan
militernya yang luar biasa. Yang dalam hal ini, kebijakan pemusnahan diciptakan
dan direncanakan oleh pihak yang berwenang di pusat negara dilaksanakan dengan
menggunakan alat-alat komunikasi modern dan penggunaan cara-cara modern dalam
bentuk yang paling luas. Kedua, kelompok-kelompok yang dimusnahkan (Yahudi)
mempunyai agama yang berbeda dari kelompok yang menghancurkan dan mempunyai
status sosial yang jelas batasnya dalam masyarakat, Yahudi dalam hal ini
mempunyai profesi pedagang dan juga aktif dalam profesi-profesi bebas. Ketiga,
Yahudi dianggap dan dikemukakan sebagai tidak loyal kepada negara, dan pembawa
ideologi suversif. Orang-orang Yahudi dianggap sebagai pluktorat atau marxis
yang berbahaya, musuh dari mayoritas penduduk. Selain itu faktor ideologis yang
mendasari genosida yang dilakukan oleh orang-orang Nazi tersebut adalah rasisme
anti-semit. Dalam genosida Nazi, bukan hanya warga Imperium Jerman saja tetapi
juga orang Yahudi dari negara lain pun yang diduduki tentara Nazi telah
dibunuh.
Dalam kasus
ini, tanggapan masyarakat Internasional sangat keras. Para kriminal Nazi yang
terburuk diadili dan dihukum, negara Jerman pada umumnya dilucuti dan terutama
sekali diputuskan untuk mengakhiri pembunuhan massal seperti itu dengan
mengadakan suatu perjanjian internasional yang bertujuan untuk mencegah
terulangnya tindakan yang mengerikan seperti yaitu Konvensi Genosida yang
disetujui tahun 1948 oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ide mengenai
pencetusan hak asasi manusia mulai berakar sejak Perang Dunia II, walaupun
sebelumnya gagasan mengenai hak asasi manusia juga telah ada pada zaman
Mesopotamia Kuno, namun baru mencapai puncaknya setelah Perang Dunia II.
Kerusakan dan pembunuhan besar-besaran pada saat perang telah menggugah
kebulatan tekad untuk mendirikan suatu organisasi yang sanggup meredakan krisis
internasional serta wadah untuk berdiskusi atau berunding. Hak
asasi manusia tidak dapat dilaksanakan secara mutlak yang berarti dalam
pelaksanaannya harus berdasarkan ketentuan yang berlaku. Peraturan yang mutlak
akan melanggar hak asasi orang lain.
Sementara itu
mengenai kejahatan genosida, dimana kejahatan genosida itu sendiri merupakan
salah satu bentuk pelanggaran hak azasi manusia. Genosida berarti membunuh atau melakukan tindakan lain
yang merusak terhadap anggota kelompok nasional, etnis, rasial atau agama.
Untuk mencegah dan menekan kasus tindakan kejahatan genosida, maka dibentuklah
Konvensi Genosida pada tahun 1948.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam.2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik-edisi revisi.Jakara:PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Fikriyah, Siti.2008.HAM,Kewarganegaraan
dan Konstitusi.Jakarta:Nobel Edumedia.
Howard, Rhoda. E.2000.HAM.Jakarta:PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Cassese, Antonio.2005. Hak Azasi
Manusia Di Dunia Yang Berubah.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bakar, Saafroedin.2002. Konteks
Kenegaraan Hak Azasi Manusia.Jakara: Pustaka Sinar Harapan.
Jemadu, Aleksius. 2008.Politik Global
Dalam Teori dan Praktik.Yogyakarta: Graha Ilmu.
“Holocaust”, dikutip dari <http://id.wikipedia.org/wiki/Holocaust>
diakses pada 12 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar