Senin, 19 November 2012

ISU HAK AZASI MANUSIA DAN KEJAHATAN GENOSIDA


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Sejak berakhirnya Perang Dingin pada akhir tahun 1980an, isu HAM  menjadi perdebatan hangat dalam politik internasional. Pelanggaran HAM yang terjadi dimana-mana dan dalam jumlah kasus yang semakin meningkat mendorong aktor-aktor internasional untuk memberikan perhatian yang serius terhadap faktor-faktor yang mendorong pelanggaran HAM serta cara untuk mengatasinya. Pelanggaran HAM dalam bentuk pembunuhan massal (mass killings), penyiksaan, pemerkosaan, penculikan dan penahahan tanpa proses pengadilan merupakan gejala umum terjadi di negara-negara yang dilanda konflik separatis atau komunal.

Sejalan dengan kemenangan ideologi liberalisme perhatian terhadap hak individu dan kelompok meningkat dan kedaulatan negara tidak lagi dilihat sebagai hambatan untuk promosi hak azasi manusia. Hal ini tidak berarti bahwa dalam periode sebelumnya isu hak azasi manusia tidak diperhatikan, namun isu keamanan nasional dan internasional mendominasi percaturan politik dunia sehingga negara menjadi aktor utama yang menjadi unit analisis. Sejak tahun 1948 dunia telah memiliki Universal Declaration of Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk menghormati hak azasi manusia.

Dalam periode selanjutnya komunitas internasional menghasilkan berbagai konvensi dan perjanjian internasional sebagai bentuk komitmen terhadap pentingnya hak azasi manusia. Eksistensi Konvensi Internasional tentang HAM tidak dengan sendirinya menjamin penghormatan terhadap HAM. Politik dunia tidak selalu didikte oleh nilai-nilai idealis tetapi kepentingan manusia secara individual maupun kelompok. Karena itu politik pelaksanaan HAM merupakan topik yang menarik perhatian dalam analisis politik global kontemporer. Perdebatan antara kaum realist dan pluralist  terus berlangsung dan pelaksanaan HAM masing sangat ditentukan oleh kebijakan negara meskipun aktor-aktor lain juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan tersebut.

I.2 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai isu hak azasi manusia (HAM) dan juga mengenai permasalahan kasus kejahatan genosida serta penyelesaian kasus kejahatan HAM dan genosida.

I.3 Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini akan dibahas sejumlah permasalahan diantaranya:
1.    Apa yang dimaksudkan dengan konsep HAM dan perkembangannya di dunia internasional ?
2.    Apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan bagaimana reaksi masyarakat internasional terhadap kasus tersebut ?
3.    Berikan contoh studi kasus terhadap permasalahan HAM dan Kejahatan Genosida!

BAB II
ISU HAK AZASI MANUSIA DAN KEJAHATAN GENOSIDA

II.1 Definisi Konsep HAM
Menurut Rhoda E. Howard dalam bukunya yang berjudul HAM, hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia. Setiap manusia mempunyai hak asasi dan tidak seorang pun boleh diingkari hak asasinya tanpa keputusan hukum yang adil. Secara umum dapat dikatakan hak asasi manusia adalah hak yang diperoleh dan dibawa manusia bersama dengan kelahiran serta kehadirannya dalam kehidupan masyarakat tanpa membedakan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin karena sifatnya yang asasi dan universal. Maka pengakuan HAM mengandung arti bahwa HAM harus dilindungi, baik terhadap tindakan para pemegang kekuasaan maupun terhadap tindakan perseorangan secara melanggar atau mengurangi hak tersebut.
Dalam Mukadimah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966), dicanangkan : “Hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada manusia (These rights derive from the inherent dignity of the human person)”. Hak ini sangat mendasar atau asasi (fundamnetal) sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama atau gender.
Namun, salah satu hambatan utama dalam promosi HAM adalah bahwa masih terdapat sejumlah perdebatan terhadap definisi HAM itu sendiri. Negara-negara Barat cenderung berasumsi bahwa tradisi HAM liberal yang dianutnya secara otomatis berlaku seca universal karena gagasan inilah yang diadopsi dalam berbagai konvensi HAM internasional. Perdebatan definisi seperti ini lebih sering disebabkan oleh pertimbangan politk daripada persoalan keilmuan terutama karena negara-negara yang keberatan dengan universalisme HAM kebetulan menerapkan sistem yang politik yang tidak demokratis dan pemerintah mengendalikan kebebasan politik rakyat untuk melanggengkan kekuasaannya. Karena argumen yang dikemukakan oleh mereka  yang tidak menerima universalisme HAM didasarkan pada pertimbangan kepentingan politik, maka kecenderungan yang terdapat dalam hampir semua literatur politik dunia adalah menerima kenyataan bahwa pluralisme budaya atau bahkan kedaulatan negara tidak bisa dijadikan alasan untuk membatalkan martabat manusia sebagai manusia.

Berdasarkan konsep diatas, definisi yang dikemukakan oleh Jack Donelly sangat relevan untuk prinsip universalisme HAM. Menurutnya, HAM bukan pemberian dari lembaga eksternal apapun tetapi melekat pada seorang individu karena status dan marabatnya sebagai manusia. Solidaritas umat manusia secara global harus diberikan ruang yang cukup untuk mempermasalahkan setiap bentuk pelanggaran HAM dimana pun hal itu terjadi. Pemerintah tidak bisa berdalih atas nama kedaulatan untuk melindungi pelanggaran yang telah dilakukannya. Dalam hal ini negara harus responsif terhadap tuntutan atau tekanan aktor-aktor lain di luar dirinya terutama civil society untuk mempromosikan HAM demi kemajuan kemanusiaan.

III.2 Sejarah Perkembangan HAM
a.       Hammurabi
Dasar-dasar perlindungan HAM ternyata telah ada sejak zaman mesopotamia. Hal ini diketahui setelah ditemukannya kodifikasi hukum yang dibuat oleh Hammurabi, Raja keenam Babylonia (1792-1750 SM), di Irak. Kode (codex) Hammurabi berisi 282 pasal ekonomi, keluarga dan sipil. Kumpulan hukum yang berbentuk balok hitam itu ditemukan di Susa tahun 1901 dalam suatu ekspedisi yang dilakukan arkeolog Perancis di bawah pimpinan M de Morgan.

Codex Hammurabi, yang terdiri dari 282 pasal ditambah Prolog dan Epilog, tidak saja berpengaruh terhadap kumpulan hukum yang terdapat di dalam Alkitab, tetapi juga pada sistem hukum pada periode selanjutnya. Yang menarik adalah kumpulan hukum itu juga mengingatkan kita bahwa sejak abad 18 SM, di Mesopotamia sudah ada pemimpin besar yang sungguh ingin memajukan hak asasi manusia secara adil.

b.      Sejarah Lahirnya HAM di beberapa negara di dunia
1.      Inggris
Hak asasi di Inggris mula-mula lahir dengan ditandatanganinya sebuah piagam yang dikenal dengan Magna Charta pada tahun 1215 sebagai bentuk tuntutan para baron terhadap Raja Inggris, Raja John yang berlaku sewenang-wenang. Dalam perjalanannya Inggris meletakkan dasar-dasar HAM yang penting lainnya. Pada tahun 1629 masyarakat mengajukan Petition of Right (petisi hak asasi manusia) yang berisi tentang pajak yang dipungut kerajaan harus mendapat persetujuan Parlemen Inggris, petisi juga memuat bahwa warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya, tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai. Petisi ini dikeluarkan pada masa Raja Charles I berkuasa.
Inggris juga mencatat statuta hak-hak sipil lain. Statuta tersebut adalah Hobeas Corpus Act tahun 1679, pada masa Raja Charles II dan Bill of Rights tahun 1689, pada masa Williem II. Hobeas Corpus Act menyatakan bahwa penangkapan terhadap seseorang hanya dapat dilakukan apabila disertai dengan surat-surat lengkap dan sah.  Sedangkan Bill of Rights menyatakan mengenai kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen, kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, pajak, UU, pembentukan tentara tetap melalui izin parlemen, hak warga negara untuk memeluk agama menurut agama dan kepercayaan masing-masing, dan parlemen berhak mengubah keputusan raja.
2.      Amerika
Pada tahun 1776, sebagai koloni Inggris, Amerika Serikat menggunakan ide-ide Locke untuk memerdekakan diri dari penjajahan Inggris. Di Amerika Serikat, The Revolutionary War (1775-1783) telah memerdekakan Amerika dari penjajahn Inggris. Revolusi ini berawal dari pertempuran Lexington dan Concord. Dan setahun kemudian (1776) Amerika mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris. Slogan-slogan Hak-hak Asasi Manusia diangkat dalam Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika yang ditulis Thomas Jefferson.  Substansi dari Declaration of Independence, yaitu hak-hak alam seperti hak-hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Pada tahun 1789 rakyat Amerika Serikat mencetuskan sebuah amandemen yang dikenal dengan nama Bill of Rights. Isi penting dari Bill of Rights ini adalah jaminan terhadap hak-hak dasar  seperti kebebasan berbicara, pers, beragama dan sebagainya. Isi dari Bill of Rights Amerika disusun berdasarkan ilham dari Magna Charta, Bill of Rights Inggris, dan Declaration of Rights Virginia.
3.      Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pada tahun 1941 diadakan perudingan antara Presiden Roosevelt dengan Perdana Menteri inggris Winston Churchill guna meyelesaikan permasalahan Perang Dunia II. Perundingan itu menghasilkan beberapa kesepakatan yang dikenal dengan Piagam Atlantik (Atlantic Charter).
Tiga isi pokok dari piagam itu adalah :
a.    Tidak boleh ada perluasan daerah tanpa persetujuan penduduk asli.
b.    Setiap bangsa berhak menentukan dan menetapkan bentuk pemerintahannya sendiri.
c.    Setiap bangsa berhak mendapat kesempatan untuk bebas dari rasa takut dan bebas dari kemiskinan.
Pada 24 Oktober 1945, dalam konferensi di San Fransisco, Amerika, para wakil dari 50 negara menandatangani piagam pembentukan PBB, yang disebut Piagam San Fransisco. Isi substansial dari piagam PBB ini menyebutkan “Kami akan meneguhkan keyakinan akan dasar-dasar hak manusia sebagai manusia sesuai dengan harkat dan derajat manusia berdasarkan hak-hak yang sama...Seperti berusaha memajukan rakyat dan tingkat kehidupan yang lebih baik dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas”.
Tahun 1966, dalam sidang Majelis Umum PBB, Covenant of Human Rights, diakui dalam hukum internasional dan diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB. Perjanjian tersebut antara lain memuat :
1.        The International on Civil an Political Rights (merumuskan hak-hak sipil)
2.        Optional Protocol
3.        The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (merumuskan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, biasa disingkat hak ecosoc).

III.3 Falsafah Politik Hak-Hak Asasi Manusia
Alasan yang mendasari persetujuan-persetujuan mengenai hak-hak asasi manusia, upaya-upaya untuk melaksanakannya dan kebijakan-kebijakan terkait merupakan pandangan manusia politik dan kekuasaan publik. Pandangan-pandangan mengenai hak-hak asasi manusia timbul dari tiga orientasi umum filosofis : koservatisme, liberalisme dan komunisme.

1.        Konservatisme
Konservatisme sebagai salah satu falsafah tentang hak-hak manusia yang tak sama. Konservatisme ekstrem disebut dengan fasisme. Fasisme lebih banyak ditekankan pada emosi daripada pemikiran yang jernih. Di bawah fasisme, kelompok yang berkuasa mempunyai hak lebih banyak daripada yang lain.
Pada konservatisme klasik, tidak ada persamaan kebenaran dan juga tidak memerlukan usaha untuk mencipatakan kondisi-kondisi materiil yang sama.  Konservatisme modern menganut falsafah perampasan segala hak orang banyak sehingga sistem perbankan dan moneter yang dikuasai oleh elite tanpa melalui pemilihan dan untuk elite ini juga dapat terus berlangsung secara lancar dan menguntungkan. Dari sudut pandang praktis, konservatisme dikecam banyak pihak karena ketidaksamaan dianggap tidak layak, tidak adil dan tidak dapat diterima.
2.        Liberalisme
Falsafah ini menitik beratkan pada persamaan harkat dan autonomi individu. Para penganut liberalisme percaya bahwa manusia bermoral dan masyarakat bermoral dapat dikembangkan. Ada 2 dasar utama bagi aliran liberal. Yang pertama aliran hukum alam yang dilihat sebagai inspirasi hak-hak asasi manusia. Pemikiran ini mengatakan bahwa manusia mempunyai hak-hak yang tak bisa diganggu gugat, karena manusia berada dalam tata yang lebih luas yang menetapkan bahwa mereka mempunyai hak-hak asasi. Dasar kedua adalah pemikiran tentang manfaat pengejaran kebahagiaan dan kesejahteraan manusia melalui kebebasan persamaan.
3.        Komunalisme
Falsafah ini dikenal dengan penitik  beratannya yang disertai atas sementara kelompok, seperti kelas, bangsa nasional. Komunalisme menekankan bahwa individu senantiasa didapati dalam kelompok dan kesejahteraan individu senantiasa terjalin dengan peruntungan kelompok. Kenyataan inilah yang mengatur hak-hak mereka.

III. 4 Kejahatan Genosida
Istilah genosida (genocide) diciptakan oleh Raphael Lemkin tahun 1944 untuk memperlihatkan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang Nazi di Eropa. Genosida sendiri berarti pemusnahan seluruh kelompok manusia yang memiliki ciri umum etnis, rasial atau agama.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi kasus kejahatan genosida. Pertama, genosida itu dihubungkan dengan perang penaklukan. Akibat yang selalu berulang terjadi dari keadaan ini adalah pembantaian massal dari penduduk negeri-negeri yang dikalahkan. Kedua, agama seringkali membenarkan pemusnahan seluruh kelompok dari musuh-musuh keagamaan. Seperti Perang Salib di abad-abad pertengahan dan pembunuhan massal terhadap orangArab, tetapi juga orang Yahudi, menggambarkan dengan baik sekali tindakan-tindakan ekstrem yang dapat menimbulkan pertikaian dan kebencian agama terhadap orang-orang yang menganut suatu kepercayaan lain. Ketiga, dominasi kolonial oleh negara-negara Eropa di Amerika Latin, Asia dan Afrika merupakan kesempatan atau alasan untuk menghancurkan seluruh rakyat atau penduduk asli.

Menurut I. L. Horowitz genosida merupakan suatu mekanisme utama untuk mempersatukan negara nasional. Sebauh sifat umum selanjutnya adalah bahwa para pelaku genosida itu memperoleh keuntungan ekonomi dari pembunuhan itu dengan jalan mengambil alih barang-barang yang dimiliki para korban itu. Selanjutnya ada suatu hal yang menjadikan kedua genosida itu serupa: ideologi yang melatarbelakangi, yaitu suatu ideologi yang bertujuan menganggap pihak lain, anggota dari kelompok yang berbeda sebagai “bukan manusia”, sebagai suatu yang dibenci karena tidak ikut serta dalam nilai-nilai masyarakat dari kelompok yang dominan.

III.5 Konvensi Genosida
Konvensi Genosida dibentuk tahun 1946-1948. Konvensi dianggap sebagai suatu mekanisme yang menentukan dalam pertarungan menentang genosida: karena itu bagi pendirinya tampak bahwa dengan merumuskannya mereka telah membuat suatu terobosan besar dalam sejarah umat manusia. Dalam kenyataannya hal ini yang menjadi tumpuan harapan demikian banyaknya orang di sekian banyak negara berakhir sebagai suatu hampir merupakan kegagalan total. Konvensi itu menyatakan bahwa genosida merupakan suatu kejahatan internasional yang dapat dihukum, baik dilakukan di waktu perang atau di masa damai, genosida menentukan siapa yang dihukum karena tindakan-tindakan genosida dan pada akhirnya menentukan siapa yang akan melaksanakan hukuman itu.
Menurut Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman terhadap kejahatan pembunuhan massal (genosida) ini, telah ditetapkan empat mekanisme untuk mengadili pelaku genosida: pertama, diadili di depan pengadilan negara yang di wilayahnya telah dilakukan tindakan genosida itu; kedua, pelaku tindakan genosida dapat pula diajukan di depan pengadilan internasional yang akan didirikan; ketiga, pelaku tindakan genosida dapat diajukan ke badan-badan PPB yang berwenang; keempat diajukan ke depan Mahkamah Pengadilan Internasional.
Konvensi ini memiliki kelebihan tersendiri terutama dengan definisi genosida secara rinci, kenyataan bahwa ia melarang kejahatan-kejahatan yang dilakukan dimasa damai serta kenyataan bahwa ia juga menjadikan para pejabat negara dapat dihukum.  Terlepas dari kebaikan-kebaikannya tersebut, konvensi tersebut tetap memiliki kelemahan. Komvensi itu lebih banyak hanya merupakan sebuah catatan protes menentang tindakan-tindakan kebuasan individu atau kelompok daripada merupakan suatu mekanisme yang efektif untuk menekan atau mencegahnya.

III. 6 Studi Kasus

Kasus Pemusnahan Orang Yahudi oleh Nazi (Holocaust)
Kasus genosida Nazi atau yang biasa disebut sebagai Holocaust ini terjadi pada tahun 1939-1455. Holocaust adalah peristiwa pemusnahan hampir seluruh Yahudi Eropa oleh Nazi Jerman dan kelompoknya selama Perang Dunia II. Orang Yahudi sering menyebut peristiwa ini sebagai Shoah, istilah Ibrani yang berarti malapetaka atau bencana hebat. Holocaust sendiri berasal dari bahasa Yunani, holo yang artinya seluruh, dan caustos yang berarti terbakar. Secara umum, holocaust artinya adalah persembahan api atau pengorbanan religius dengan pembakaran. Konon, Nazi Jerman dipercaya telah memusnahkan sekitar 5,6 sampai 5,9 juta orang Yahudi, setidaknya angka inilah yang selalu didengung-dengungkan dan dikampanyekan  oleh Yahudi.
Holocaust tidak lepas dari kebencian Jerman kepada Yahudi. Perang Dunia I (PD I) menyisakan Jerman sebagai pecundang, dan Jerman tanpa tedeng aling-aling menyebut Yahudi sebagai pengkhianat yang membuat negara Bavarian itu hancur. Hal itu diperkuat dengan kejadian pada akhir PD I, sekelompok Yahudi mengobarkan revolusi ala Bolshevik Soviet di negara bagian Jerman, Bavaria.

Jumlah korban Yahudi umumnya dikatakan mencapai enam juta jiwa. Genosida ini yang diciptakan Adolf Hitler dilaksanakan, antara lain, dengan tembakan-tembakan, penyiksaan, dan gas racun, di kampung Yahudi dan Kamp konsentrasi. Selain kaum Yahudi, kelompok-kelompok lainnya yang dianggap kaum Nazi "tidak disukai" antara lain adalah bangsa Polandia, Rusia, suku Slavia lainnya, penganut agama Katolik Roma, orang-orang cacat, orang cacat mental, homoseksual, Saksi-Saksi Yehuwa (Jehovah's Witnesses), orang komunis, suku Gipsi (Orang Rom dan Sinti) dan lawan-lawan politik. Mereka juga ditangkap dan dibunuh. Jika turut menghitung kelompok-kelompok ini dan kaum Yahudi juga, maka jumlah korban Holocaust bisa mencapai 9-11 juta jiwa.

Yahudi dianggap sebagai bangsa yang berbahaya. Ketika Nazi naik panggung politik, kebijakan yang menekan Yahudi pun diterapkan. Hak-hak Yahudi dicabut, harta benda mereka disita, rencana untuk mengusir mereka keluar Jerman dirancang, sampai, konon, pemusnahan fisik yang berarti pembantaian.  Musim semi 1941, Nazi mulai membantai Yahudi di Uni Soviet yang dianggap sebagai sumber hidup Bolshevisme. Kamp pembantaian untuk Yahudi mulai dibangun di Auschwitz, Dachau, Bergen-Belsen. Kamp itu dilengkapi kamar gas dan tungku besar. Mereka menggunakan kamar gas untuk membunuh orang Yahudi. Beberapa orang Yahudi dimasukkan ke dalam kamar gas, kemudian gas Zyklon-B, sebuah gas pestisida berbahan dasar asam hidrosianik, dialirkan.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya kasus ini. Pertama, proporsinya dimungkinkan oleh adanya negara modern dengan aparat birokrasinya, pemusatan kekuasaannya dan monopoli sumberdaya ekonomi dan militernya yang luar biasa. Yang dalam hal ini, kebijakan pemusnahan diciptakan dan direncanakan oleh pihak yang berwenang di pusat negara dilaksanakan dengan menggunakan alat-alat komunikasi modern dan penggunaan cara-cara modern dalam bentuk yang paling luas. Kedua, kelompok-kelompok yang dimusnahkan (Yahudi) mempunyai agama yang berbeda dari kelompok yang menghancurkan dan mempunyai status sosial yang jelas batasnya dalam masyarakat, Yahudi dalam hal ini mempunyai profesi pedagang dan juga aktif dalam profesi-profesi bebas. Ketiga, Yahudi dianggap dan dikemukakan sebagai tidak loyal kepada negara, dan pembawa ideologi suversif. Orang-orang Yahudi dianggap sebagai pluktorat atau marxis yang berbahaya, musuh dari mayoritas penduduk. Selain itu faktor ideologis yang mendasari genosida yang dilakukan oleh orang-orang Nazi tersebut adalah rasisme anti-semit. Dalam genosida Nazi, bukan hanya warga Imperium Jerman saja tetapi juga orang Yahudi dari negara lain pun yang diduduki tentara Nazi telah dibunuh. 

Dalam kasus ini, tanggapan masyarakat Internasional sangat keras. Para kriminal Nazi yang terburuk diadili dan dihukum, negara Jerman pada umumnya dilucuti dan terutama sekali diputuskan untuk mengakhiri pembunuhan massal seperti itu dengan mengadakan suatu perjanjian internasional yang bertujuan untuk mencegah terulangnya tindakan yang mengerikan seperti yaitu Konvensi Genosida yang disetujui tahun 1948 oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.


BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ide mengenai pencetusan hak asasi manusia mulai berakar sejak Perang Dunia II, walaupun sebelumnya gagasan mengenai hak asasi manusia juga telah ada pada zaman Mesopotamia Kuno, namun baru mencapai puncaknya setelah Perang Dunia II. Kerusakan dan pembunuhan besar-besaran pada saat perang telah menggugah kebulatan tekad untuk mendirikan suatu organisasi yang sanggup meredakan krisis internasional serta wadah untuk berdiskusi atau berunding. Hak asasi manusia tidak dapat dilaksanakan secara mutlak yang berarti dalam pelaksanaannya harus berdasarkan ketentuan yang berlaku. Peraturan yang mutlak akan melanggar hak asasi orang lain.
Sementara itu mengenai kejahatan genosida, dimana kejahatan genosida itu sendiri merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak azasi manusia. Genosida  berarti membunuh atau melakukan tindakan lain yang merusak terhadap anggota kelompok nasional, etnis, rasial atau agama. Untuk mencegah dan menekan kasus tindakan kejahatan genosida, maka dibentuklah Konvensi Genosida pada tahun 1948.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam.2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik-edisi revisi.Jakara:PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fikriyah, Siti.2008.HAM,Kewarganegaraan dan Konstitusi.Jakarta:Nobel Edumedia.

Howard, Rhoda. E.2000.HAM.Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.

Cassese, Antonio.2005. Hak Azasi Manusia Di Dunia Yang Berubah.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Bakar, Saafroedin.2002. Konteks Kenegaraan Hak Azasi Manusia.Jakara: Pustaka Sinar Harapan.

Jemadu, Aleksius. 2008.Politik Global Dalam Teori dan Praktik.Yogyakarta: Graha Ilmu.

“Holocaust”, dikutip dari <http://id.wikipedia.org/wiki/Holocaust> diakses pada 12 Mei 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar