Selasa, 13 November 2012

KETATANEGARAAN DALAM SEJARAH ISLAM


Pendahuluan
Ketatanegaraan Islam telah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Pada dasarnya pemerintahan Islam didasarkan pada aspek akidah dan ibadah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ketatanegaraan dalam sejarah Islam, berikut akan dibahas secara ringkas.
Praktik Kenegaraan Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Selama 23 tahun karir kenabian Muhammad SAW, beliah berhasil mengatur dimensi hubungan antara manusia dengan Khaliknya. Pada masa 13 tahun pertama, Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah, dengan penekanan aspek akidah dan ibadah. Dalam praktiknya, Nabi Muhammad menjalankan pemerintahan yang tidak terpusat di tangan beliau. Ada empat cara yang ditempuh Nabi dalam pengambilan keputusan politik. Pertama, mengadakan musyawarah dengan sahabat senior, kedua meminta pertimbangan kalangan professional, ketiga melemparkan masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forum yang lebih besar, keempat mengambil keputusan sendiri.
Dalam menjalankan roda pemerintahan Negara Madinah, Nabi Muhammad tidak memisahkan antara kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Di bawah naungan wahyu Al-Qur’an Muhammad menjalankan kekuasaan legislative. Untuk politik dalam negeri, dapat dilihat kebijaksanaan beliau seperti mencipatakan persatuan dan kesatuan diantara komponen masyarakt negara Madinah. Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi membentuk lembaga Hisbah.
Untuk pemerintahan daerah, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai gubernur dan hakim. Beliau juga mengelola zakat, pajak, dan ghanimah untuk kesejahteraan penduduk. Sementara  sebagai panglima tertinggi angkatan perang, beliau mengorganisasi militer, mengumumkan perang dan langsung memimpin perang. Dalam hubungan internasional, kebijakan yang ditempuh Muhammad adalah menjalin hubungan diplomatic dengan negara-negara sahabat. Muhammad juga mengangkat duta-duta ke negara-negara sahabat. Praktik kenegaraan pada masa Nabi Muhammad jika dilihat dari sumber kekuasaan, maka dapat dikatakan negara Madinah sebagai negara teokrasi. Dalam negara ini syariat memegang peranan penting dan menjadi dasar kebijakan politik nabi Muhammad. Sedangkan bila ditinjau dari sudut pelaksanaan kekuasaan, system pemerintahan Nabi Muhammad dapat dikatakan demokratis.
Pemerintahan Pada Masa Khulafa Al-Rasydun
1.      Masa Abu Bakr al-Siddiq
Setelah terpilih menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakr menyampaikan “pidato kenegaraan” di Mesjid Nabawi. Hal-hal penting yang perlu dicatat dari pidato tersebut adalah : pertama, pelantikan Abu Bakr dapat dikatakan sebagai wujud dari kontrak social antara pemimpin dan rakyatnya. Kedua, karena itu Abumeminta segenap rakyatnya untuk berpartisipasi aktif melakukan kontrol sosial terhadap dirinya. Ketiga, tekad Abu Bakr untuk menegakkan keadilan dan HAM dengan melindungi orang-orang yang lemah dari kesewenang-wenangan orang yang kuat. Keempat seruan untuk membela negara pada saat dibutuhkan. Kelima, perintah untuk tetap menjalankan sholat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh keberkahan di dalam masyarakat.
Abu Bakr menyusun system pemerintahan yang menekankan pada prinsip pembagian kekuasaan dan penempatan orang yang sesuai dengan kemampuannya. Struktur pemerintahan Abu Bakr dapat dikatakan modern untuk zamannya. Selain itu pada dasarnya, system pemerintahan periode Abu Bakr masih belum memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Semua kekuasaan pada akhirnya dikembalikan kepada Abu Bakr sendiri. Di samping itu ada beberapa sahabat yang menduduki dua jabatan yang sama. Namun, adanya asas persamaan antara seluruh rakyat dan control dari segenap anggota masyarakat, kekuasaan Abu Bakr sangat egaliter dan demokratis.
2.      Masa Umar ibn. Al-Khathab
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (734-644), kekuasaan Islam telah melampaui Jazirah Arab. Penaklukan-penaklukan dilakukan pada masa Umar, bahkan dua adidaya ketika itu Persia dan Byzantium berhasil jatuh ke tangan umat Islam. Karena luasnya kekuasaan Islam, Umar mengadakan pembaharuan signifikan dalam bidang administrasi negara. Dengan tetap menjadikan kota Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam. Pada masa pemerintahan Umar, lembaga-lembaga penting mulai dibentuk. Umar membentuk lembaga kepolisian (Diwan al-Ahdats) untuk menjaga keamanan dan ketertiban dan lembaga pekerjaan umum (Nazharat al-Nafi’ah) yang menangani masalah-masalah pembangunan fasilitas umum dan faslitas social. Lembaga peradila juga mulai berdiri terpisah dari kekuasaan eksekutif.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, Umar mulai memisahkan kekuasaan legislative ( majelis syura), yudikatif (qadha’) dan eksekutif (khalifah), meskipun tentu saja pemisahan ini tidak bisa dibandingkan dengan system pemerintahan modern trias politica seperti sekarang. Hal ini menunjukan bahwa Umar merupakan seorang negarawan dan administrator yang bijak. Masa pemerintahan Umar dapat dianggap sebagai masa peningkatan kesejahteraan.
3.      Masa Usman Ibn Affan
Garis kebijakan yang dilaksanakannya mengacu pada kebijakan Khalifah Abu Bakr dan Umar. Usman berhasil memperluas wilayah Islam dengan menguasai Ray dan Rum serta Cyprus. Kekuasaan islam pada saat itu meliputi Azerbaizan, Afganistan, Armenia, Kurdistan dan Heart. Usman melakukan pembangunan fisik seperti perumahan, jalan-jalan, jembatan dan fasilitas umum. Dalam menjalankan pemerintahan Usman dibantu dewan pajak, bendahaar negara, kepolisian, pekerjaan umum dan militer. Untuk jabatan didaerah Usman dibantu gubernur-gubernur. Pada awal masa pemerintahannya, Usman tidak banyak mendapat ancaman dan gangguan, namun setelah enam tahun masa pemerintahan muncul protes dan ketidakpuasan dari masyarakat terutama didaerah. Adapun sumber ketidakpuasan rakyat yakni soal politik, pendayagunaan kekayaan negara, dan kebijakan keimigrasian.
4.      Masa Ali ibn Abi Thalib
Pada masa kepemimpinannya, Ali memberhentikan gubernur yang diangkat oleh Usman dan menarik tanah yang dibagi-bagikan Usman kepada kerabatnya. Hal ini juga menghadapi banyak tantangan dari daerah. Disisi lain penduduk Madinah pun tidak bulat mendukung Ali. Oleh karena itu Ali memindahkan ibukota pemerintahannyake Kufah. Ali menyusun undang-undang perpajakan dan menegaskan bahwa pajak tidak boleh diambil npa memperhatikan pembangunan rakyat. Ali ingin megembalikan citra pemerintaha islam pada masa sebelumnya. Dalam masa pemerintahannya, Ali lebih banyak mengurus persoalan pemberontakan didaerah. Dalam menyelesaikan masalah masalah yang terjadi, Ali tidak mendengarkan masukan dari para sahabat. Ali yakin dengan pendapatnya sendiri.
Ketatanegaraan Pada Masa Bani Umaiyah
Pada masa Bani Umaiyah, kepemimpinan dipegang oleh Mu’awiyah. Perubahan politik yang dilakukan Mu’awiyah adalah memindahkan ibukota ke Damsyik. Perubahan lain yang dilakukan oleh Mu’awiyah adalah menggantikan system pemerintahan yang bercorah syura dengan pemilihan kepala negara secara penunjukan. Dalam perluasan wilayah, Mu’awiyah dan dinasti Bani Umaiyah umumnya melakukan berbagai penaklukan, sehingga ketika kekuasaan Bani Umaiyah berakhir, kekuasaan Islam telah mencapai Lautan Atlantik di Barat dan Lembah Indus di Timur.
Selain perluasan, Bani Umaiyah juga melakukan berbagai penyempurnaan di bidang administrasi negara (birokrasi), perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Dalam bidang administrasi negara, untuk pertama kalinya Mu’awiyah memperkenalkan pengawal pribadi (hajib) yang bertugas menjalankan tugas-tugas protokoler khalifah. Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima departemen yaitu : Diwan al-Jund (militer), Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan), Diwan al-Rasail (surat-menyurat), Diwan al-Khatam (Arsip dan dokumentasi negara) dan Diwan al-Barid (layanan pos dan registrasi penduduk). Selain eksekutif, khalifah juga mengangkat hakim untuk daerah.
Ketatanegaraan Pada Masa Bani Abbas   
Meskipun Al-Saffah merupakan pendiri dinasti ini, orang yang berjasa mengembangkannya adalah Abu Ja’far al-Manshur. Kebijakan terpenting yang dilakukan al-Manshur adalah memindahkan ibukota kerajaan ke Baghdad pada tahun 762 M. Bani Abbas mengembangkan system pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek yaitu : khilafah, wizarah, hijabah dan kitabah.
Khilafah disini maksudnya adalah al-Manshur menyatakan dirinya adalah wakil Allah di bumi-Nya. Pernyataan ini telah menggeser pengertian khalifah dalam Islam. Pernyatan al-Manshur tersebut menunjukan bahwa khalifah memerintah berdasarkan mandat Tuhan bukan pilihan rakyat. Wizarah merupakan salah satu aspek kenegaran yang membantu tuga-tugas kepala negara. Sedangkan wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan. Untuk membantu wazir-wazir tersebut maka ditunjuklah katib-katib untuk mengkoordinir masing-masing departemen. Selanjutnya yang terakhir yaitu hijabah, yaitu pengawal khalifah yang bertugas menghalangi dan membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan Khalifah Bani Abbas.

Ketatanegaraan Pada Masa Turki Usmani
Dinasti Usmani didirikan pada tahun 1300 M oleh orang-orang dari suku nomad Kayi yang berasal dari Asia Tengah. Dalam pelaksanaan pemerintahan, penguasa-penguasa imperium Usmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan adalah gelar mereka untuk masalah-masalah duniawi, sedangkan khalifah merupakan gelar mereka untuk urusan keagamaan. System pemerintahan Usmani banyak mengadopsi praktik kenegaraan yang berlaku di Bizantium dan Persia. Untuk menjalankan kedua fungsi ini, penguasa Usmani dibantu oleh tiga kekuasaan yaitu administrasi birokrasi (Men of the Pen), militer (Men of the Sword), dan kekuasaan agama (Men of the Religion). Dalam pelaksanaan kekuasaan yang begitu luas di daerah kerajaan ini mengangkat gubernur (pasha) di tingkat satu serta bupati (zanaziq) di tingkat dua. Dalam masalah-masalah agama penguasa Usmani dibantu oleh para mufti dan kadi. Mufti berperan sebagai penafsir hukum sedangkan kadi berperan sebagai pelaksananya.
Kesimpulan
Ketatanegaraan dalam sejarah Islam dapat dibagi ke dalam 5 periode yakni : pada masa Nabi Muhammad SAW, masa Khulafa Al-Rasydun, masa Bani Umaiyah, Bani Abbas dan masa Turki Usmani. Berbagai bentuk perubahan terus dilakukan di setiap masa pemerintahannya. Di mulai dari adanya pemisahan kekuasaan yakni kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif.  Kemudian juga dibentuk lembaga-lembaga pemerintahan sebagai penunjang praktek kenegaraan.
Daftar Pustaka
Iqbal, Muhammad.2007.Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta: Gaya Media Pratama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar