Pendahuluan
Ketatanegaraan Islam telah ada sejak zaman Nabi
Muhammad. Pada dasarnya pemerintahan Islam didasarkan pada aspek akidah dan
ibadah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
ketatanegaraan dalam sejarah Islam, berikut akan dibahas secara ringkas.
Praktik
Kenegaraan Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Selama 23 tahun
karir kenabian Muhammad SAW, beliah berhasil mengatur dimensi hubungan antara
manusia dengan Khaliknya. Pada masa 13 tahun pertama, Muhammad SAW menyampaikan
dakwahnya kepada masyarakat Mekah, dengan penekanan aspek akidah dan ibadah. Dalam
praktiknya, Nabi Muhammad menjalankan pemerintahan yang tidak terpusat di
tangan beliau. Ada empat cara yang ditempuh Nabi dalam pengambilan keputusan
politik. Pertama, mengadakan musyawarah dengan sahabat senior, kedua meminta
pertimbangan kalangan professional, ketiga melemparkan masalah-masalah tertentu
yang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forum yang lebih besar,
keempat mengambil keputusan sendiri.
Dalam menjalankan
roda pemerintahan Negara Madinah, Nabi Muhammad tidak memisahkan antara
kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Di bawah naungan wahyu Al-Qur’an
Muhammad menjalankan kekuasaan legislative. Untuk politik dalam negeri, dapat
dilihat kebijaksanaan beliau seperti mencipatakan persatuan dan kesatuan
diantara komponen masyarakt negara Madinah. Untuk mengadili pelanggaran
ketertiban umum, Nabi membentuk lembaga Hisbah.
Untuk
pemerintahan daerah, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai gubernur dan
hakim. Beliau juga mengelola zakat, pajak, dan ghanimah untuk kesejahteraan
penduduk. Sementara sebagai panglima
tertinggi angkatan perang, beliau mengorganisasi militer, mengumumkan perang
dan langsung memimpin perang. Dalam hubungan internasional, kebijakan yang
ditempuh Muhammad adalah menjalin hubungan diplomatic dengan negara-negara
sahabat. Muhammad juga mengangkat duta-duta ke negara-negara sahabat. Praktik kenegaraan pada masa Nabi Muhammad jika dilihat dari sumber
kekuasaan, maka dapat dikatakan negara Madinah sebagai negara teokrasi. Dalam
negara ini syariat memegang peranan penting dan menjadi dasar kebijakan politik
nabi Muhammad. Sedangkan bila ditinjau dari sudut pelaksanaan kekuasaan, system
pemerintahan Nabi Muhammad dapat dikatakan demokratis.
Pemerintahan
Pada Masa Khulafa Al-Rasydun
1. Masa Abu Bakr
al-Siddiq
Setelah terpilih menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakr
menyampaikan “pidato kenegaraan” di Mesjid Nabawi. Hal-hal penting yang perlu
dicatat dari pidato tersebut adalah : pertama,
pelantikan Abu Bakr dapat dikatakan sebagai wujud dari kontrak social antara
pemimpin dan rakyatnya. Kedua, karena
itu Abumeminta segenap rakyatnya untuk berpartisipasi aktif melakukan kontrol sosial
terhadap dirinya. Ketiga, tekad Abu
Bakr untuk menegakkan keadilan dan HAM dengan melindungi orang-orang yang lemah
dari kesewenang-wenangan orang yang kuat. Keempat
seruan untuk membela negara pada saat dibutuhkan. Kelima, perintah untuk tetap menjalankan sholat sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh keberkahan di dalam masyarakat.
Abu Bakr menyusun system pemerintahan yang menekankan pada prinsip
pembagian kekuasaan dan penempatan orang yang sesuai dengan kemampuannya. Struktur
pemerintahan Abu Bakr dapat dikatakan modern untuk zamannya. Selain itu pada
dasarnya, system pemerintahan periode Abu Bakr masih belum memisahkan antara
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Semua kekuasaan pada akhirnya
dikembalikan kepada Abu Bakr sendiri. Di samping itu ada beberapa sahabat yang
menduduki dua jabatan yang sama. Namun, adanya asas persamaan antara seluruh
rakyat dan control dari segenap anggota masyarakat, kekuasaan Abu Bakr sangat
egaliter dan demokratis.
2.
Masa Umar ibn. Al-Khathab
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (734-644), kekuasaan Islam telah
melampaui Jazirah Arab. Penaklukan-penaklukan dilakukan pada masa Umar, bahkan
dua adidaya ketika itu Persia dan Byzantium berhasil jatuh ke tangan umat
Islam. Karena luasnya kekuasaan Islam, Umar mengadakan pembaharuan signifikan
dalam bidang administrasi negara. Dengan tetap menjadikan kota Madinah sebagai
pusat pemerintahan Islam. Pada masa pemerintahan Umar, lembaga-lembaga penting
mulai dibentuk. Umar membentuk lembaga kepolisian (Diwan al-Ahdats) untuk
menjaga keamanan dan ketertiban dan lembaga pekerjaan umum (Nazharat al-Nafi’ah)
yang menangani masalah-masalah pembangunan fasilitas umum dan faslitas social.
Lembaga peradila juga mulai berdiri terpisah dari kekuasaan eksekutif.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, Umar mulai memisahkan kekuasaan legislative
( majelis syura), yudikatif (qadha’) dan eksekutif (khalifah), meskipun tentu
saja pemisahan ini tidak bisa dibandingkan dengan system pemerintahan modern
trias politica seperti sekarang. Hal ini menunjukan bahwa Umar merupakan
seorang negarawan dan administrator yang bijak. Masa pemerintahan Umar dapat
dianggap sebagai masa peningkatan kesejahteraan.
3.
Masa Usman Ibn
Affan
Garis
kebijakan yang dilaksanakannya mengacu pada kebijakan Khalifah Abu Bakr dan
Umar. Usman berhasil memperluas wilayah Islam dengan menguasai Ray dan Rum
serta Cyprus. Kekuasaan islam pada saat itu meliputi Azerbaizan, Afganistan,
Armenia, Kurdistan dan Heart. Usman melakukan pembangunan fisik
seperti perumahan, jalan-jalan, jembatan dan fasilitas umum. Dalam menjalankan
pemerintahan Usman dibantu dewan pajak, bendahaar negara, kepolisian, pekerjaan
umum dan militer. Untuk jabatan didaerah Usman dibantu gubernur-gubernur. Pada
awal masa pemerintahannya, Usman tidak banyak mendapat ancaman dan gangguan,
namun setelah enam tahun masa pemerintahan muncul protes dan ketidakpuasan dari
masyarakat terutama didaerah. Adapun sumber ketidakpuasan rakyat yakni soal
politik, pendayagunaan kekayaan negara, dan kebijakan keimigrasian.
4.
Masa Ali ibn
Abi Thalib
Pada
masa kepemimpinannya, Ali memberhentikan gubernur yang diangkat oleh Usman dan
menarik tanah yang dibagi-bagikan Usman kepada kerabatnya. Hal ini juga
menghadapi banyak tantangan dari daerah. Disisi lain penduduk Madinah pun tidak
bulat mendukung Ali. Oleh karena itu Ali memindahkan ibukota pemerintahannyake Kufah. Ali
menyusun undang-undang perpajakan dan menegaskan bahwa pajak tidak boleh
diambil npa memperhatikan pembangunan rakyat. Ali ingin megembalikan citra
pemerintaha islam pada masa sebelumnya. Dalam masa pemerintahannya, Ali lebih banyak
mengurus persoalan pemberontakan didaerah. Dalam menyelesaikan masalah masalah
yang terjadi, Ali tidak mendengarkan masukan dari para sahabat. Ali yakin
dengan pendapatnya sendiri.
Ketatanegaraan Pada Masa Bani Umaiyah
Pada masa Bani Umaiyah, kepemimpinan dipegang oleh Mu’awiyah. Perubahan
politik yang dilakukan Mu’awiyah adalah memindahkan ibukota ke Damsyik. Perubahan
lain yang dilakukan oleh Mu’awiyah adalah menggantikan system pemerintahan yang
bercorah syura dengan pemilihan kepala negara secara penunjukan. Dalam
perluasan wilayah, Mu’awiyah dan dinasti Bani Umaiyah umumnya melakukan
berbagai penaklukan, sehingga ketika kekuasaan Bani Umaiyah berakhir, kekuasaan
Islam telah mencapai Lautan Atlantik di Barat dan Lembah Indus di Timur.
Selain perluasan, Bani Umaiyah juga melakukan berbagai penyempurnaan di
bidang administrasi negara (birokrasi), perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Dalam
bidang administrasi negara, untuk pertama kalinya Mu’awiyah memperkenalkan
pengawal pribadi (hajib) yang bertugas menjalankan tugas-tugas protokoler
khalifah. Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima departemen yaitu :
Diwan al-Jund (militer), Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan), Diwan
al-Rasail (surat-menyurat), Diwan al-Khatam (Arsip dan dokumentasi negara) dan
Diwan al-Barid (layanan pos dan registrasi penduduk). Selain eksekutif,
khalifah juga mengangkat hakim untuk daerah.
Ketatanegaraan Pada Masa Bani Abbas
Meskipun Al-Saffah merupakan pendiri dinasti ini, orang yang berjasa
mengembangkannya adalah Abu Ja’far al-Manshur. Kebijakan terpenting yang
dilakukan al-Manshur adalah memindahkan ibukota kerajaan ke Baghdad pada tahun
762 M. Bani Abbas mengembangkan system pemerintahan dengan mengacu pada empat
aspek yaitu : khilafah, wizarah, hijabah dan kitabah.
Khilafah disini maksudnya adalah al-Manshur menyatakan dirinya adalah wakil
Allah di bumi-Nya. Pernyataan ini telah menggeser pengertian khalifah dalam Islam.
Pernyatan al-Manshur tersebut menunjukan bahwa khalifah memerintah berdasarkan mandat
Tuhan bukan pilihan rakyat. Wizarah merupakan salah satu aspek kenegaran yang
membantu tuga-tugas kepala negara. Sedangkan wazir adalah orang yang membantu
dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan. Untuk membantu wazir-wazir tersebut
maka ditunjuklah katib-katib untuk mengkoordinir masing-masing departemen. Selanjutnya
yang terakhir yaitu hijabah, yaitu pengawal khalifah yang bertugas menghalangi
dan membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan Khalifah Bani Abbas.
Ketatanegaraan Pada Masa Turki Usmani
Dinasti Usmani didirikan pada tahun 1300 M oleh orang-orang dari suku nomad
Kayi yang berasal dari Asia Tengah. Dalam pelaksanaan pemerintahan,
penguasa-penguasa imperium Usmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan
adalah gelar mereka untuk masalah-masalah duniawi, sedangkan khalifah merupakan
gelar mereka untuk urusan keagamaan. System pemerintahan Usmani banyak
mengadopsi praktik kenegaraan yang berlaku di Bizantium dan Persia. Untuk
menjalankan kedua fungsi ini, penguasa Usmani dibantu oleh tiga kekuasaan yaitu
administrasi birokrasi (Men of the Pen), militer (Men of the Sword), dan
kekuasaan agama (Men of the Religion). Dalam pelaksanaan kekuasaan yang begitu
luas di daerah kerajaan ini mengangkat gubernur (pasha) di tingkat satu serta
bupati (zanaziq) di tingkat dua. Dalam masalah-masalah agama penguasa Usmani
dibantu oleh para mufti dan kadi. Mufti berperan sebagai penafsir hukum
sedangkan kadi berperan sebagai pelaksananya.
Kesimpulan
Ketatanegaraan
dalam sejarah Islam dapat dibagi ke dalam 5 periode yakni : pada masa Nabi
Muhammad SAW, masa Khulafa Al-Rasydun, masa Bani Umaiyah, Bani Abbas dan masa
Turki Usmani. Berbagai bentuk perubahan terus dilakukan di setiap masa
pemerintahannya. Di mulai dari adanya pemisahan kekuasaan yakni kekuasaan
eksekutif, legislative dan yudikatif. Kemudian
juga dibentuk lembaga-lembaga pemerintahan sebagai penunjang praktek
kenegaraan.
Daftar Pustaka
Iqbal, Muhammad.2007.Fiqh Siyasah:
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta:
Gaya Media Pratama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar