Pendahuluan
Dalam
mempelajari fisafat politik Cina, tidak hanya dibahas mengenai sejarah dan
perkembangannya saja, namun juga membahas mengenai pengaruh filsafat-filsafat
ataupun paham-paham yang berkembang terhadap tatanan pemerintahan Cina. Berikut
akan dibahas mengenai pengaruh filsafat-filsafat tersebut terhadap perkembangan
tatanan pemerintahan Cina.
Otoriterisme Hsun Tzu
Hsun Tzu merupakan salah
satu filsuf
China yang lahir di Negara Chao sekitar tahun 300 SM. Ia merupakan seorang penganut Confusianisme selama hidupnya.
Salah-satu buah
pikir kontroversial ialah ketika secara tegas Hsun Tzu menyatakan,
kodrat manusia adalah buruk.
Manusia lahir dengan kesukaan akan keuntungan. Jika seseorang mengikuti
kecenderungan-kecenderungan kodratinya, maka ia tidak tidak akan mendahulukan
kepentingan orang lain, jika ia mendahulukan kepentingan orang lain maka ia
mengabaikan kecenderungan-kecenderungan kodratinya. Manusia akan menjadi baik hanya bila melalui latihan
yang diperolehnya Ia menyangkal argumen Mencius yang
mengatakan bahwa kodrat manusia adalah baik. Hsun Tzu juga mengatakan bahwa Mencius tak paham apa itu kodrat
manusia. Mencius tak mampu membedakan secara lihai antara kodrat asli dengan
watak yang diperoleh kemudian. Kodrat manusia adalah apa yang telah dikarunikan
Tuhan sejak lahir. Ini tak dapat diupayakan, ataupun dipelajari.
Menurut Hsun Zhu, manusia bukan hanya buruk menurut
kodratnya pada waktu ia dilahirkan tetapi semua manusia itu kodratnya sama. Setiap orang mengawali hidupnya
dengan kecakapan, pengetahuan serta kemampuan yang sama. Ia juga menyatakan
bahwa orang yang paling awam di dunia dapat menjadi bijaksana dengan jalan
mengamalkan kebaikan.
Mengenai
segi pemerintahan, Hsun Zu mempunyai kesamaan terhadap Confusius. Ia menyetujui
adanya pembagian kelas masyarakat. Pembagian ini bertujuan untuk menjaga negara dari kekacauan. Bagi Hsun Tzu, jika semua orang berada pada kekuasaan yang
sama, maka sama halnya tak ada kekuasaan/pemerintahan.
Totaliterisme Penganut Legalisme
Filsafat
Legalisme merupakan filsafat kontrarevolusi yang berupaya mempertahankan kekuasaan
saat penguasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya terhadap tuntutan yang
menyatakan bahwa pemerintah adalah untuk rakyat bukan penguasa dan pemerintahan
yang tidak dapat memuaskan kepentingan rakyat adalah pemerintahan yang
terkutuk. Penganut Legalisme mendukung pemerintahan yang terpusat kuat, yang
dalam menjalankan fungsinya menggunakan aturan-aturan hukum yang tetap dan
mutlak serta ancaman hukum yang kuat. Para penganut Legalisme biasanya adalah
pejabat-pejabat yang benar-benar memegang kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan.
Istilah
yang paling tepat untuk menggambarkan kaum Legalisme adalah “penganut
tataliterisme”, karena mereka menganjurkan bahwa setiap orang harus dipaksa
untuk hidup, bekerja, berpikir dan atas permintaan penguasa mati sepenuhnya
untuk negara, tanpa memperhatikan keinginan serta kesejahteraan seseorang.
Banyak
perbedaan yang terdapat antara paham Legalisme dengan paham Confusius. Penganut
paham Legalisme yang menamakan dirinya sebagai kaum modern yang mengupayakan pembaharuan
menganggap bahwa ajaran Confusius telah ketinggalan zaman yang berpegang teguh
pada teori-teori lama dan tidak menyukai modernisasi.
Meskipun
para penganut Legalisme secara
terang-terangan mengecam dan merendahkan Confusianisme, namun keduanya memiliki
sejumlah persamaan. Penganut Legalisme juga menghormati Confusius. Sehingga
dalam sejumlah buku Legalisme menyatakan bahwa Confusius beralih kepada paham
Legalisme dan ucapan-ucapan Legalisme berasal dari Confusius yang kemudian
banyak kisah-kisah mengenai legalisme dalam ajaran Confusius.
Menururt
teori Legalisme, ada tiga hal yang harus digunakan oleh penguasa agar dapat
memerintah dengan baik dan benar. Pertama ialah shih, yang berate kekuasaan
atau kedudukan, Kedua adalah shu, yakni metode-metode. Dan ketiga adalah Fa
yang berarti hukum. Dapat disimpulkan juga bahwa kebajikan dan kebijaksanaan
tidak bersifat menentukan disbanding kekuasaan serta kedudukan.
Penganut Eklektisisme Pada Masa Dinasti han
Sejak Dinasti Han berdiri, keadaan
mengenai kefilsafatan mengalami perubahan. Mereka yang mempelajari ajaran
Legalisme, tidak diizinkan untuk memperoleh jabatan di pemerintahan. Sistem
ujian Negara dikembangkan berdasarkan kitab klasik Confusianisme. Pada masa
Dinasti Han inilah Confusianisme mengalami kejayaan. Menurut para ahli hal ini
dapat dikarenakan keadaan politik serta ekonomi yang menimbulkan dampak tak
terelakkan seperti yang telah diramalkan.
Tetapi
paham Legalistik pada masa itu sama sekali belum mati. Meskipun Confusianisme
mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka akan memegang jabatan dalam pemerintahan,
namun mereka sering disibukkan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut
adat-kepercayaan, metafisika serta kepustkaan untuk menghadapi masalah duniawi
yang masalah rumah tangga kerajaan yang menurut mereka ini tidak layak bagi
orang baik-baik. Tetapi Dinasti Hantidak mamiliki keterampilan seperti itu,
maka Dinasti terpaksa mempekerjakan mereka yang mengerti paham Lagalisme.
Sikap
Eklektik yang dimiliki oleh penganut Confusianisme tidak sedikit. Pada dasarnya
sangat sulit untuk menemukan mereka yang merupakan seorang penganut
Confusianisme murni pada masa Dinasti Han. Banyak kitab-kitab klasik
Confusinisme yang juga memuat teori-teori yang bercorak Legalisme dan Taoisme.
Begitu pula dengan bagian-bagiannya yang banyak tidak sesuai dengan ajaran
murni Confusius.
Budhisme danNeo-Confusianisme
Budhisme yang berasal dari India mulai berkembang di Cina pada sekitar awal
masehi. Hal ini memiliki arti sendiri bagi bangsa Cina sebab memiliki sebuah
pandangan hidup baru. Ada sebagian dari mereka yang mereka yang menerima
kedatangan Budhisme namun tak sedikit juga yang menolak ajaran tersebut.
Seluruh cara berpikir bangsa Cina secara berangsur-angsur akan berubah. Bangsa
Cina telah dikuasai oleh Budhisme selama kurang lebih seribu tahun. Pandangan
Budhisme mengenai dunia tidak hanya berbeda dengan dengan paham bangsa Cina,
namun juga bagi kebanyakan orang.
Dalam filsafat Cina, Taoisme
dan Budha saling berhubungan satu sama lain. Banyak istilah Taoisme yang
dipakai di dalam penerjemahan kitab-kitab Budha, bahkan ada orang yang
mempelajari keduanya secara bersamaan.
Meskipun Budhisme di Cina
telah dikenal selama berabad-abad, namun tampaknya hal ini tidak begitu
berpengaruh di kalangan sarjana Cina. Di dalam kepustakaan Cina, Budhisme
jarang ditemui di dalam karya-karya klasik. Namun, Budhisme juga mengalami
perkembangan yang pesat di Cina. Banyak bermunculan kuil-kuil Budha di Cina.
Untuk mengimbangi
perkembangan Budha, maka lahirlah sebuah paham baru yang dinamakan
Neo-Confusianisme. Neo-Confusianisme berupaya untuk menunjukann bahwa
Confusianisme dapat memberikan apa saja yang diinginkan dan apa yang dapat
diberi oleh Budhisme, bahkan lebih dari itu.
Penganut Neo-Confusianisme bahkan mengatakan bahwa kekuasaan kitab-kitab
suci tidak mutlak penting. Tetapi pada umumnya ternyata ada kemungkinan untuk
menyisipkan apa saja yang diperlukan dalam ucapan-ucapan Confusius dengan jalan
agak rinci. Para penganut
Neo-Confusianisme secara khusus mendasarkan diri pada Mencius dan pada
karya-karya yng menggambarkan pemikirannya.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat-filsafat yang berkembang di
Cina semenjak beribu-ribu tahun yang lalu telah memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan pemerintahan di Cina. Tercatat bahwa filsuf-filsuf zaman dahulu
beserta ajaran-ajaran yang dibawanya seperti Confusius, Mo Tzu, Lao Tzu hingga
Hsun Tzu sangat berpengaruh terhadap tatanan dan pandangan hidup bangsa Cina.
Bahkan beberapa dari ajaran tersebut menjadi dasar pemikiran bangsa Cina hingga
sekarang.
Sumber
Referensi
Creel, H.G, Alam
Pikiran Cina, PT
Tiara Wacana Yogya, 1989
Kebung, Konrad,
Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina dan India), Prestasi Pustaka
Jakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar