Pendahuluan
Sebagai
salah satu religi Jepang, filsafat Shintoisme memiliki kontribusi yang cukup
besar terhadap pemerintahan Jepang, baik itu terhadap negara maupun dalam
bidang ekonomi. Kontribusi ini kemudian sedikit banyak memberikan pengaruhnya
terhadap tatanan pemerintahan Jepang. Untuk lebih memahami, berikut akan
dibahas satu persatu bagaimana Shintoisme berpengaruh terhadap Jepang.
1. Shintoisme dan
Negara
Shintoisme memiliki kaitan yang erat dengan dunia politik pada masa-masa
awal sejarah Jepang. Catatan tertua yang ditemukan tentang Shinto menunjukkan
munculnya suatu kultus negara dari religi kesukuan primitive yang ada pada
waktu itu. Pada era awal Kristen, orang-orang Yamato berusaha memperkuat
hagemoni mereka atas Jepang tengah dan mereka melakukan upaya politik itu
nampaknya mereka berhasil menciptakan mitologi mereka sendiri. Versi ini
menggabungkan mitologi-mitologi yang mencakup berbagai hal sehingga menjadikan
Dewi Matahari, Amaterasu O-Mikami dan dewa-dewa leluhur para pemimpin orang
Yamato sebagai yang lebih utama di atas seluruh dewa-dewa yang lain. Kegiatan-kegiatan
religius dari pusat kuil besar terutama Ise dan Izumo, dikaitkan dengan
fungsi-fungsi religius istana. Pimpinan Yamato juga menduduki jabatan religius,
walaupun dia cenderung membebaskan diri dari tugas-tugas suci yang lebih rumit
yang dialihkannya ke pusat-pusat kuil, agar dia mempunyai keleluasan yang lebih
besar dalam bertindak.
Namun demikian, pada prakteknya dia tetap pendeta agung kultus negara. Perlu
diketahui bahwa kata dalam bahasa Jepang kuno untuk memerintah adalah
matsurigoto yang berarti ibadah religius atau pemujaan. Hal ini mengisyaratkan
tidak adanya diferensiasi fungsi antara wilayah religi dan negara.
2. Shintoisme dan
Ekonomi
Ada bermacam bentuk dan bermacam kelas yang berbeda ketika membahas etika
ekonomi di Jepang dan saling berkaitan dengan etika politik dan religi,
dampaknya terlihat pada rasionalisasi ekonomi. Meskipun Shinto juga memiliki
kontribusi besar terhadap bidang ekonomi, namun sesungguhnya teori dari Konfusius-lah yang mempunyai pengaruh
besar di Jepang. Dasar pikiran konfusius tentang ini adalah “kemanunggalan
ekonomi dan negara”. Para pemikir Konfusian melihat adanya kaitan langsung
antara kesejahteraan ekonomi dan moralitas, dan inilah diatas segalanya, yang
menurut mereka menentukan nilai politik dari kehidupan ekonomi. Walaupun para
pemikir Konfusian mengajarkan bahwa moralitas harus dipegang teguh tanpa peduli
kondisi ekonomi, mereka cukup realistis untuk menyadari bahwa prinsip seperti
ini tidak terlalu mudah untuk dipenuhi oleh orang kebanyakan.
Menurut Mencius,
jika mereka tidak mempunyai tingkat kesejahteraan hidup tertentu, rakyat akan
tidak bisa diatur. Ini adalah dasar ideologis yang kuat yang mendasari
perhatian terhadap kehidupan ekonomi rakyat yang merupakan ciri dari para
penguasa Tokugawa. Inti dari kebijakan ekonomi Konfusian secara rinci berarti :
dorong, produksi dan kurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi mengambil dua
bentuk utama, lahir dan bathin. Bentuk bathin adalah pembatasan keinginan dan
bentuk lahir adalah pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi ugahari. Konfusius
pernah berkata, “ Sikap bermewah-mewah akan mengarah kepada pembangkangan, dan
sikap kikir kepada kehinaan. Lebih baik hina dari pada membangkang.”
Dari tinjauan
singkat tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik diatas dapatlah
ditangkap bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah system yang imbang. Produksi
dimaksudkan agar kebutuhan terpenuhi penghematan diterapkan agar kecukupan itu
tidak terganggu.
3. Konsep Shingaku
Shingaku adalah gerakan yang dimulai ketika Ishida Baigan (1685-1744)
menggantungkan papan namanya dan meberikan ceramah umumnya yang pertama pada
tahun 1729. Ishida Baigan adalah salah seorang tokoh religus pada masa
Tokugawa. Sejak muda Ishida Baigan sangat haus terhadap "kebenaran". Ia merupakan seorang pedagang yang dan mempunyai misi menyebarkan agama
Shinto kepada masyarakat.
Setelah kematian Baigan, gerakan ini
berkembang dari dasawarsa ke dasawarsa selanjutnya sehingga pada awal abad 19
terdapat banyak sekali tempat cerama Shingaku di seluruh Jepang. Gerakan ini
banyak sekali menarik perhatian banyak orang dari kelas perkotaan, ribuan dari
mereka memadati tempat-tempat ceramahnya selama lebih dari seratus tahun,
walaupun pengaruhnya juga mencapai kalangan samurai dan petani. Banyak
cedekiawan Jepang menganggapnya sebagai salah satu gerakan yang mempunyai
pengaruh besar pada moralitas rakyat awam pada era Tokugawa. Pengaruhnya
disebarkan bukan hanya melalui ceramah-ceramah umum, tetapi juga melalui
khotbah dan risalah-risalah yang dicetak dalam jumlah besar dan dibaca di
kalangan yang sangat luas, melalui peraturan-peraturan rumah pedagang (kakun),
yang banyak diantaranya dibuat oleh para guru Shingaku, dan melalui
kegiatan-kegiatan karitaif yang dilaksanakan gerakan itu.
Sebagai religi, Shingaku mengajarkan pencerahan dan pengabdian tanpa
pamrih, yang keduanya merupakan alat pencapaian dan sekaligus hasil yang
dicapai. Secara politis gerakan ini telah menguatkan rasionalisasi dan menjadi
perpanjangan kekuasaan dengan cara menekankan kesetiaan dan pengabdian tanpa
pamrih seorang hamba. Walaupun merupakan gerakan kelas pedagang, dia tidak
mencari kekuatan politik langsung bagi para pedagang tetapi menerima samurai
sebagai pemimpin yang membuat kebijakan, dan berusaha memasukan pedagang dalam
peran seperti samurai dalam bidang ekonomi. Secara ekonomi, gerakan ini
memperkuat sikap rajin dan hemat, menghargai produktivitas dan menekan
konsumsi. Dalam hal ini, Shingaku dilihat sebagai penyumbang kepada pertumbuhan
sikap disiplin, paraktis dan tekun dalam kerja di dunia di kalangan kelas-kelas
perkotaan, yang paing penting baik bagi para wiraswasta maupun pegawai dalam
kondisi ekonomi yang sedang memasuki proses industrialisasi.
Dalam melakukan semua itu, Shingaku memanfaatkan salah satu tradisi religius
yang tertua dan paling di Timur Jauh yaitu, Mencius. Dengan menyesuaikan
tradisi ini dengan kebutuhan kelas-kelas perkotaan pada masanya Shingaku member
arti kepada kehidupan pedagang yang sulit dan terganggu dan menyalurkan energy
mereka kearah yang mendatangkan akibat yang paling besar bagi masyarakatnya.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa Shintoisme memiliki pengaruh dan kontribusi yang cukup besar terhadap
negara maupun ekonomi, dan memperkuat ketertarikan kepada nilai-nilai sentral,
memberikan motivasi dan legitimasi untuk beberapa inovasi politik dan
memperkuat etika asketisme duniawi yang menekankan sikap rajin dan hemat.
Selain itu, sikap hormat kepada Kaisar oleh penganut Shinto merupakan kekuatan
ideologis di Jepang dan telah berfungsi memberikan legitimasi untuk perubahan
yang tanpa itu akan mendapatkan tantangan yang sangat keras.
Referensi
Bellah, Rober N.
1992.Religi Tokugawa Akar-Akar Budaya Jepang.Jakarta:PT. Gramedia
Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar