Selasa, 13 November 2012

PENGARUH FILSAFAT SHINTOISME TERHADAP NEGARA


Pendahuluan
     Sebagai salah satu religi Jepang, filsafat Shintoisme memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap pemerintahan Jepang, baik itu terhadap negara maupun dalam bidang ekonomi. Kontribusi ini kemudian sedikit banyak memberikan pengaruhnya terhadap tatanan pemerintahan Jepang. Untuk lebih memahami, berikut akan dibahas satu persatu bagaimana Shintoisme berpengaruh terhadap Jepang.

1.      Shintoisme dan Negara
Shintoisme memiliki kaitan yang erat dengan dunia politik pada masa-masa awal sejarah Jepang. Catatan tertua yang ditemukan tentang Shinto menunjukkan munculnya suatu kultus negara dari religi kesukuan primitive yang ada pada waktu itu. Pada era awal Kristen, orang-orang Yamato berusaha memperkuat hagemoni mereka atas Jepang tengah dan mereka melakukan upaya politik itu nampaknya mereka berhasil menciptakan mitologi mereka sendiri. Versi ini menggabungkan mitologi-mitologi yang mencakup berbagai hal sehingga menjadikan Dewi Matahari, Amaterasu O-Mikami dan dewa-dewa leluhur para pemimpin orang Yamato sebagai yang lebih utama di atas seluruh dewa-dewa yang lain. Kegiatan-kegiatan religius dari pusat kuil besar terutama Ise dan Izumo, dikaitkan dengan fungsi-fungsi religius istana. Pimpinan Yamato juga menduduki jabatan religius, walaupun dia cenderung membebaskan diri dari tugas-tugas suci yang lebih rumit yang dialihkannya ke pusat-pusat kuil, agar dia mempunyai keleluasan yang lebih besar dalam bertindak.

Namun demikian, pada prakteknya dia tetap pendeta agung kultus negara. Perlu diketahui bahwa kata dalam bahasa Jepang kuno untuk memerintah adalah matsurigoto yang berarti ibadah religius atau pemujaan. Hal ini mengisyaratkan tidak adanya diferensiasi fungsi antara wilayah religi dan negara.
 
2.      Shintoisme dan Ekonomi
Ada bermacam bentuk dan bermacam kelas yang berbeda ketika membahas etika ekonomi di Jepang dan saling berkaitan dengan etika politik dan religi, dampaknya terlihat pada rasionalisasi ekonomi. Meskipun Shinto juga memiliki kontribusi besar terhadap bidang ekonomi, namun sesungguhnya teori  dari Konfusius-lah yang mempunyai pengaruh besar di Jepang. Dasar pikiran konfusius tentang ini adalah “kemanunggalan ekonomi dan negara”. Para pemikir Konfusian melihat adanya kaitan langsung antara kesejahteraan ekonomi dan moralitas, dan inilah diatas segalanya, yang menurut mereka menentukan nilai politik dari kehidupan ekonomi. Walaupun para pemikir Konfusian mengajarkan bahwa moralitas harus dipegang teguh tanpa peduli kondisi ekonomi, mereka cukup realistis untuk menyadari bahwa prinsip seperti ini tidak terlalu mudah untuk dipenuhi oleh orang kebanyakan.

Menurut Mencius, jika mereka tidak mempunyai tingkat kesejahteraan hidup tertentu, rakyat akan tidak bisa diatur. Ini adalah dasar ideologis yang kuat yang mendasari perhatian terhadap kehidupan ekonomi rakyat yang merupakan ciri dari para penguasa Tokugawa. Inti dari kebijakan ekonomi Konfusian secara rinci berarti : dorong, produksi dan kurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi mengambil dua bentuk utama, lahir dan bathin. Bentuk bathin adalah pembatasan keinginan dan bentuk lahir adalah pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi ugahari. Konfusius pernah berkata, “ Sikap bermewah-mewah akan mengarah kepada pembangkangan, dan sikap kikir kepada kehinaan. Lebih baik hina dari pada membangkang.”

Dari tinjauan singkat tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik diatas dapatlah ditangkap bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah system yang imbang. Produksi dimaksudkan agar kebutuhan terpenuhi penghematan diterapkan agar kecukupan itu tidak terganggu.

3.      Konsep Shingaku
Shingaku adalah gerakan yang dimulai ketika Ishida Baigan (1685-1744) menggantungkan papan namanya dan meberikan ceramah umumnya yang pertama pada tahun 1729. Ishida Baigan adalah salah seorang tokoh religus pada masa Tokugawa. Sejak muda Ishida Baigan sangat haus terhadap "kebenaran". Ia merupakan seorang pedagang yang dan mempunyai misi menyebarkan agama Shinto kepada masyarakat.

Setelah kematian Baigan, gerakan ini berkembang dari dasawarsa ke dasawarsa selanjutnya sehingga pada awal abad 19 terdapat banyak sekali tempat cerama Shingaku di seluruh Jepang. Gerakan ini banyak sekali menarik perhatian banyak orang dari kelas perkotaan, ribuan dari mereka memadati tempat-tempat ceramahnya selama lebih dari seratus tahun, walaupun pengaruhnya juga mencapai kalangan samurai dan petani. Banyak cedekiawan Jepang menganggapnya sebagai salah satu gerakan yang mempunyai pengaruh besar pada moralitas rakyat awam pada era Tokugawa. Pengaruhnya disebarkan bukan hanya melalui ceramah-ceramah umum, tetapi juga melalui khotbah dan risalah-risalah yang dicetak dalam jumlah besar dan dibaca di kalangan yang sangat luas, melalui peraturan-peraturan rumah pedagang (kakun), yang banyak diantaranya dibuat oleh para guru Shingaku, dan melalui kegiatan-kegiatan karitaif yang dilaksanakan gerakan itu.

Sebagai religi, Shingaku mengajarkan pencerahan dan pengabdian tanpa pamrih, yang keduanya merupakan alat pencapaian dan sekaligus hasil yang dicapai. Secara politis gerakan ini telah menguatkan rasionalisasi dan menjadi perpanjangan kekuasaan dengan cara menekankan kesetiaan dan pengabdian tanpa pamrih seorang hamba. Walaupun merupakan gerakan kelas pedagang, dia tidak mencari kekuatan politik langsung bagi para pedagang tetapi menerima samurai sebagai pemimpin yang membuat kebijakan, dan berusaha memasukan pedagang dalam peran seperti samurai dalam bidang ekonomi. Secara ekonomi, gerakan ini memperkuat sikap rajin dan hemat, menghargai produktivitas dan menekan konsumsi. Dalam hal ini, Shingaku dilihat sebagai penyumbang kepada pertumbuhan sikap disiplin, paraktis dan tekun dalam kerja di dunia di kalangan kelas-kelas perkotaan, yang paing penting baik bagi para wiraswasta maupun pegawai dalam kondisi ekonomi yang sedang memasuki proses industrialisasi.

Dalam melakukan semua itu, Shingaku memanfaatkan salah satu tradisi religius yang tertua dan paling di Timur Jauh yaitu, Mencius. Dengan menyesuaikan tradisi ini dengan kebutuhan kelas-kelas perkotaan pada masanya Shingaku member arti kepada kehidupan pedagang yang sulit dan terganggu dan menyalurkan energy mereka kearah yang mendatangkan akibat yang paling besar bagi masyarakatnya. 

Kesimpulan
     Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Shintoisme memiliki pengaruh dan kontribusi yang cukup besar terhadap negara maupun ekonomi, dan memperkuat ketertarikan kepada nilai-nilai sentral, memberikan motivasi dan legitimasi untuk beberapa inovasi politik dan memperkuat etika asketisme duniawi yang menekankan sikap rajin dan hemat. Selain itu, sikap hormat kepada Kaisar oleh penganut Shinto merupakan kekuatan ideologis di Jepang dan telah berfungsi memberikan legitimasi untuk perubahan yang tanpa itu akan mendapatkan tantangan yang sangat keras.  

Referensi
Bellah, Rober N. 1992.Religi Tokugawa Akar-Akar Budaya Jepang.Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar