Pendahuluan
Fiqh siyasah atau
politik islam didasarkan pada kepada tiga prinsip, yaitu tauhid, risalah dan
khalifah. Politik Islam tidak secara teknis dibahas dalam Al-Qur’an karena
Al-Qur’an ditunjukan untuk semua manusia yang lintas ras, etnis, waktu dan
tempat. Sehingga dengan hanya mengemukakan norma-norma dan prinsip politik umat
Islam mampu menerjemahkannya di setiap waktu, tempat dan kebutuhan yang
berkembang. Namun walaupun dalam Islam terdapat peluang untuk berpolitik secara luas dalam kekuasaan harus
tunduk kepada hukum dan aturan Allah, artinya Allah adalah penguasa terhadap
segala sesuatu dialam semesta ini. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai kajian
fiqh siyasah serta bagaimana perkembangannya, berikut akan dijelaskan secara
ringkas.
Kajian
Fiqh Siyasah
Kata fiqh berasal
dari faqaha-yafqahu-fiqhan. Secara
bahasa pengertian fiqh adalah “paham yang mendalam”.Sedangkan menurut istilah
fiqh adalah “ ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat
amaliyah, yang digali dari dalil-dalilnya yang rinci (tafsili).” Fiqh disebut
juga sebagai hukum Islam. Karena fiqh bersifat ijtihadiyah, pemahaman terhadap hukum syara’ tersebut pun mengalami
perubahan dan perkembangan sesuai dengan perubahan dan perkembangan situasi dan
kondisi manusia itu sendiri.
Kata “siyasah”
yang berasal dari kata sasa, berarti mengatur, mengurus dan memerintah atau
pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan. Pengertian kebahasaan ini
mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus dan membuat
kebijaksanaan atas segala sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.
Jadi secara
keseluruhan, fiqh siyasah merupakan salah satu aspek hukum Islam yang
membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi
mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Dalam fiqh siyasah ini ulama
mujtahid menggali sumber-sumber hukum Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun
Al-Sunnah untuk mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung didalamnya dalam hubungannya
dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Sebagai ilmu kenegaraan
fiqh siyasah antara lain membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan siapa
pelaksana kekuasaan, apa dasar dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan
menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya dan kepada siapa pelaksana
kekuasaan mempertanggungjawabkan kekuasaannya.
Kedudukan
Fiqh Siyasah Dalam Sistematika Hukum Islam
Fiqh siyasah
memegang peranan dan kedudukan penting dalam penerapan dan aktualisasi hukum
islam secara keseluruhan. Dalam fiqh siyasah diatur bagaimana sebuah ketentuan
sebuah hukum Islam bisa berlaku secara efektif dalam masyarakat Islam. Tanpa
keberadaan negara dan pemerintahan, ketentuan-ketentuan hukum Islam akan sulit
sekali terjamin keberlakuannya. Tapi untuk kemasyarakatan yang kompleks, umat
Islam membutuhkan fiqh siyasah.
Dalam fiqh
siyasah pemerintah bisa menetapkan suatu hukum yang secara tegas tidak diatur
oleh nash, tetapi berdasarkan kemaslahatan dibutuhkan oleh manusia. Untuk kasus
Indonesia, misalnya keluarnya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, UU No. 2/1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
dapat diakatakan sebagai bagian dari siyasah syari’ah pemerintah Indonesia. Dengan
undang-undang tersebut, umat Islam diberikan fasilitas dan kesempatan untuk
mengembangkan institusi keagamaan mereka dalam rangka pelaksanaan dan penerapan
hukum Islam itu sendiri. Disamping itu kebijakan pemerintah di bidang ekonomi
dengan berdirinya Bank Mu’amalat Indonesia juga merupakan bagian dari praktik
fiqh siyasah yang bertujuan untuk mengangkat taraf kehidupan umat Islam menjadi
lebih baik.
Ruang
Lingkup dan Sumber Kajian Fiqh Siyasah
a. Ruang Lingkup
Fiqh Siyasah
Secara sederhana, pembagian ruang lingkup fiqh siyasah dapat dibagi menjadi
tiga bagian pokok. Pertama, politik perundang-undangan (al-siyasah al-dusturiyah). Bagian ini meliputi tentang penetapan hukum
(tasyri’iyah) oleh lembaga legislative, peradilan (qadha’iyah) oleh lembaga yudikatif dan administrasi pemerintahan (idariyah) oleh birokrasi atau
eksekutif.
Kedua politik luar negeri (al-siyasah
al-kharijiyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warga
negara muslim dengan warga negara non-muslim yang bebeda kebangsaan atau
disebut juga dengan hubungan internasional. Ketiga, politik keungan dan moneter
(al-siyasah al-maliyah). Permasalahan
yang termasuk dalam siyasah maliyah ini adalah sumber-sumber keuangan negara,
pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perbankan internasional,
kepentingan/hak-hak public, pajak dan perbankan.
b. Sumber Kajian
Fiqh Siyasah
Dr. Fathiyah al-Nabrawi membagi sumber-sumber fiqh siyasah menjadi tiga
bagian yaitu Al-Qur’an dan sunnah, sumber tertulis lainnya selain Al-Qur’an dan
sunnah serta sumber-sumber yang berupa peninggalan kaum muslimin terdahulu.
Selain itu, Ahmad Sukardja mengungkapkan sumber kajian fiqh siyasah berasal
dari manusia itu sendiri dan lingkungannya, seperti pandangan para pakar
politik, “urf atau kebiasaan masyarakat yang bersangkutan, adat istiadat
setempat, pengalaman masa lalu dan aturan-aturan yang pernah dibuat sebelumnya.
Perkembangan Kajian Fiqh Siyasah
Dalam sejarah
Islam, siyasah telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad setelah beliau berada di
Madinnah. Di sini Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, sebagai rasul utusan
Allah dan sebagai kepala negara Madinnah. Perkembangan kajian fiqh siyasah
secara sederhana dapat dibagi ke dalam periode klasik yang berlangsung hingga
1258 M, periode pertengahn yang berakhir pada abad 19 dan periode modern hingga
sekarang.
a. Periode Klasik
Ciri yang menandai perkembangan ini adalah kemapanan yang terjadi di dunia
Islam. Secara politik, Islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas
Internasional. Pada periode ini terdapat dua dinasti yaitu Bani Umaiyah
(661-750 M) dan bani Abbas (750-1258). Pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, kajian
fiqh siyasah masih belum muncul. Bani Umaiyah lebih mengarahkan kebijaksanaan
politiknya pada pengembangan wilayah kekuasaan. Pada masa daulat Bani Abbas
barulah kajian fiqh siyasah ini mulai dikembangkan. Namun demikian, kuatnya pengaruh
negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para ulama cenderung mendukung
kekuasaan. Inilah yang terjadi di kalangan ulama Sunni pada umumnya.
Pada periode klasik ini pada umumnya diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
golongan. Dalam hal ini, kelompok Sunni masih mendominasi percaturan politik
ketika itu dan para pemikir politiknya mengembangkan doktrin-doktrin mereka di
bawah patronase kekuasaan. Sejalan dengan meningkatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan transfer ilmu asing (terutama Yunani Kuno) ke dalam Islam,
gagasan-gagasan politik pada abad klasik ini juga ditandai dengan
pengaruh-pengaruh asing.
b. Periode
Pertengahan
Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya kerajaan Abbasiyah pada 1258
M di tangan tentara Mongol. Pada masa itu kekuatan
politik Islam mengalami kemunduran. Karena itu, kecenderungan pemikiran politik
Islam juga mengalami perubahan. Tokoh yang mengalami langsung tragedi
penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah Ibn Taimiyah (1263-1328).
Pengalaman pahit ini kemudian membekas dalam kepribadian Ibn Taimiyah dan
mempengaruhi pemikiran politiknya. Kajiannya tentang fiqh siyasah ini tertuang
antara lain dalam kitab Al-Siyasah
al-Syari’ah fi Ishlah al-Ra’iyah, Majmu’
al-Fatawa dan Minhaj al-Sunnah.
Pemikir
politik lainnya yaitu Ibn khaldun (1332-1406) yang pandangan politiknya antara
lain tertuang dalam Muqaddimah. Diantara tesisnya yang berbeda dengan pemikir
Sunni lainnya adalah interpretasinya yang kontekstual terhadap hadist Nabi yang
mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Ia menganggap hadis ini
bersifat kondisional karena suku apa saja bisa memegang posisi puncak
pemerintahan Islam selama ia mempunyai kecakapan dan kemampuan.
c. Periode Modern
Periode modern
ditandai dengan semakin lemahnya dunia Islam di bawah penjajahan bangsa-bangsa
Barat. Hampir seluruh negeri muslim berada di bawah imperialism dan
kolonialisme Barat. Di samping menjajah dunia Islam, Barat ternyata mencoba
mengembangkan gagasan-gagasan politik dan kebudayaan mereka yang, tentu saja
tidak terlepas dari pengaruh sekularisme, ke tengah-tengah umat Islam. Di sisi
lain umat Islam sendiri tidak mampu menyaingi keunggulan Barat dalam bidang
teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi.
Dalam lapangan
politik, sikap pertama melahirkan aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah
agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik dan
kenegaraan. Mereka merujuk kepada teladan Nabi Muhammad mendirikan negara dan al-Khulafa’ al-Rasydun. Sikap kedua
melahirkan aliran yang berpandangan bahwa Islam hanya melahirkan seperangkat
tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Sedangkan sikap
ketiga melahirkan aliran sekulerisme yang memisahkan kehidupan politik dari
agama. Pemikiran inilah yang selanjutnya berkembang hingga masa kontemporer.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa fiqh
siyasah merupakan salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan mengenai
pengaturan kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara. Fiqg siyasah
memiliki kedudukan yang penting karena ia mengatur bagaimana hukum Islam bisa
secara efektif berlaku dalam masyarakat Islam. Pada awal perkembangannya
pemikiran politik Islam hanya merupakan respon spontan dari perkembangan yang
terjadi, namu dalam perkembangan selanjutnya pemikiran politik mulai
dikembangkan secara sistematis sehingga menjadi gagasan yang utuh. Perkembangan
fiqh siyasah mengalami dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu masa klasik,
pertengahn dan modern.
Daftar
Pustaka
Iqbal, Muhammad.2007.Fiqh Siyasah:
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta:
Gaya Media Pratama
Awaluddin dan Basri.2010.Buku Ajar Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum Untuk
Pengembangan Kepribadian.Pekanbaru: Pusbangdik Universitas Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar