A.
Latar Belakang
Konsep
kerjasama perdagangan bebas antara ASEAN dan China pertama kali dicetuskan oleh
Perdana Menteri China Zhu Rongji dalam ASEAN+3 Meeting di Singapura pada November 2000 dan pada ASEAN-China Economic Cooperation Meeting pada tahun
2001. Pada awalnya rencana kerjasama ini banyak ditentang oleh negara-negara di
Asia Tenggara, mereka cenderung lebih mendukung pembentukan FTA yang mencakup
wilayah yang lebih luas termasuk Jepang dan Korea Selatan. Namun, kedua negara
tersebut menyatakan kesanggupannya.
Pada tahun 2001 China mengusulkan
suatu kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area) dengan ASEAN dalam konsep The China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA/ACFTA),
yang ditargetkan akan terwujud pada tahun 2010. Kesepakatan ini ditandatangani
bersama pada KTT ASEAN di Vientine, Laos pada tahun 2001. Apabila ACFTA
diberlakukan dengan lancar, hambatan tarif dan non-tarif akan dicabut dari 6
negara ASEAN (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand)
pada 2010, dan dari negara CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam) pada
2015.[1]
Berdasarkan
penyusunan kesepakatan perjanjian kerjasama ini, China terlihat lebih antusias
bila dibandingkan dengan ASEAN dan berharap memperoleh keuntungan yang besar
dari kerjasama ini, dimana ASEAN menjadi wilayah strategis bagi China untuk
memasarkan produk-produknya. Hal ini kemudian banyak menimbulkan kecemasan bagi
negara-negara di Asia Tenggara yang disebabkan oleh daya tarik produk China
tersebut.
Rencana
ASEAN-China FTA diprioritaskan pada bidang-bidang pertanian, teknologi
informasi, sumber daya manusia, investasi dan sub-region sungai mekong. Setelah
melalui enam tahap negosiasi, kesepuluh Kepala Negara ASEAN dan China berhasil
menandatangani kesepakatan di Phnom Penh pada November 2002 guna melanjutkan
program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk yang dilaksanakan dalam tiga
tahap: 1) Early Harvest Program (EHP)
yang dimulai sejak 1 Januari 2004; 2) Normal Track yang dimulai implementasi
penurunan tarifnya pada 1 Juli 2005; dan 3) Sensitive
Track tahun 2012 tarif maksimum 20% serta Highly Sensitive Track tahun 2015 tarif maksimum 50%.[2]
Ada dua alasan
yang membuat China sedemikian agresif untuk mengukuhkan kerjasama ini, yakni
alasan politik dan alasan ekonomi. Secara politik China berharap melalui
peningkatan hubungan ekonomi kekhawatiran ASEAN terhadap kebangkitan ekonomi
dan militer dapat berkurang. Di samping itu kerjasama ekonomi dengan ASEAN juga
diharapkan China untuk mampu mengimbangi Amerika dan Jepang di Asia Tenggara.
Secara ekonomi, China berharap kerjasama ini akan mempermudah jalan bagi China
untuk mendapatkan bahan-bahan mentah dari kawasan Asia Tenggara. Sebaliknya,
ASEAN juga berharap kerjasama ini akan membuka jalan bagi ASEAN menjual lebih
banyak produknya ke China dan mendorong China untuk melakukan investasi
langsung di Asia Tenggara. [3]
Perkembangan
hubungan ASEAN-China dalam beberapa tahun belakangan ini bergerak cepat
terutama bila dibandingkan dengan sekitar 17 tahun yang lalu. Namun demikian,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini. Bila perkembangan hubungan
ini dibandingkan dengan hubungan negara-negara besar lainnya, seperti Amerika
Serikat, Jepang dengan ASEAN, maka pengaruh China dalam hubungan itu masih
kecil. Sementara itu negara-negara besar akan menjaga perimbangan antara China
dengan mereka agar tidak terlalu timpang.
Indonesia
sebagai salah satu negara yang ikut terlibat di dalamnya mulai memperlakukan
kesepakatan pada tanggal 1 Januari 2010. Melalui kesepakatan kerjasama ini
Indonesia ditantang untuk menunjukan eksistensi bisnis dan investasinya di
dunia Internasional. Pada awal perundingan kerjasama ini, Indonesia dihadapkan
kepada permasalahan tidak siapnya Indonesia dalam pelaksanaan kerjasama ini,
namun Indonesia harus tetap mengikutinya agar tidak mengalami ketertinggalan
dari negara-negara ASEAN lainnya. Kesepakatan Perjanjian Perdagangan Bebas
ASEAN-China merupakan kesepakatan paling berat bagi Indonesia. Meskipun akan
tetap melaksanakan kesepakatan tersebut, Indonesia akan menggunakan haknya
apabila terjadi dampak mematikan pada industri nasional. Dengan menyetujui ACFTA dan bergabung dengan ASEAN-6 yang notabene
dinilai lebih siap dari
CLMV, Indonesia dapat menciptakan citra kematangan ekonominya. Hal ini
disebabkan karena forum internasional akan melihat bahwa Indonesia telah siap secara
ekonomi untuk bersaing danstabil secara ekonomi sehingga peluang investasi
akan lebih besar. Disini dapat terlihat interest Indonesia terutama dalam bidang ekonomi untuk menciptakan citra positif
agar dapat mendorong investasi yang baik dan pada
akhirnya dapat memberikan keuntungan ekonomi kepadaIndonesia.
B.
Tinjauan
Teoritis
Dalam perpektif liberalis dijelaskan
bahwa negara bukanlah satu-satunya aktor dalam sistem internasional. Masih ada
aktor non-negara (NGO) seperti organisasi-organisasi internasional yang turut
berperan dalam sistem internasional. Seperti
halnya pemisahan kekuasaan yang berarti bahwa negara bisa menyerahkan beberapa
unsur kedaulatan mereka kepada badan-badan lain seperti organisasi-organisasi
internasional. Selain itu untuk mencapai kepentingannya, suatu negara tidak
harus melalui tindak kekerasan, tetapi dapat juga melalui kerjasama untuk mempertemukan kepentingan nasional antarnegara.
Mekanisme pemeliharaan keamanan dan perdamaian dunia yang didasarkan pada
konsep collective security memang
tidak mampu mencegah perang-perang terbatas dalam intra-state-conflik tetapi
secara umum kerjasama memungkinkan untuk memberikan solusi berbagai
masalah-masalah ekonomi negara-negara anggotanya.
Globalisasi di bidang ekonomi telah menciptakan saling ketergantungan dalam
proses produksi dan pemasaran dan di bidang politik menciptakan liberalisasi.
Teori ini juga dikenal dengan konsep interdependensi atau saling ketergantungan.
Interdependensi merupakan konsep yang paling dekat dengan liberal. Ketika
terdapat derajat interdepedensi yang tinggi, negara-negara akan membentuk
institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah bersama.
Institusi-institusi itu dapat berupa organisasi internasional formal atau dapat
berupa serangkaian persetujuan yang agak formal yang menghadapi
aktivitas-aktivitas atau isu-isu bersama.Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketergantungan
China terhadap sejumlah barang-barang mentah seperti dalam bidang pertanian yang
dibutuhkan oleh China dari Asia Tenggara terutama dari Indonesia. Maka dari
itulah China berinisiatif untuk membentuk sebuah kerjasama untuk mempermudah
transaksi perdagangannya.
Oleh karena itu, Indonesia harus
sedemikian rupa dalam memanfaatkan peluang dari kerjasama ini. Hal ini dapat
dilakukan menarik investasi-investasi yang kemudian hasilnya dapat diputar
untuk mengekspor barang-barang ke negara lain. Indonesia dapat memanfaatkan
peluang untuk mengekspor sejumlah hasil pertanian tanpa dikenakan biaya apapun
di China yang mulai diberlakukan mulai tahun 2004. Indonesia
juga dapat meningkatkan comparative
advantage terhadap produk dari China
yang membutuhkan
spesialisasi. Dengan adanya spesialisasi, Indonesia akan mengimpor dari dan
juga mengekspor ke China. Produk-produk unggulan Indonesia di antaranya karet,
batu bara, gas, bahan baku logam mineral mentah, tekstil, kertas, dan minyak
sawit atau crude palm oil (CPO) memiliki penetrasi pasar ke China cukup besar.
Pemerintah
juga harus memiliki peranan penting, yang dalam hal ini membuat
kebijakan-kebijakan terutama mengenai peningkatan kapasitas produksi, dan
kualitas komoditas barang-barang yang
akan diekspor tersebut. Selain kebijakan peningkatan komoditi ekspor, pemerintah juga perlu untuk membuat suatu kebijakan
yang memanfaatkan murahnya produk China untuk mendorong produksi dengan pasar
dalam negeri. Murahnya harga produk akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat
Indonesia akan meningkat, sehingga diharapkan agar produsen lokal melihat dan
memanfaatkan peluang tersebut.
Secara umum kesempatan dan peluang Indonesia dalam
kerjasama ini cukup besar. Dengan adanya kerjasama ini dapat memperluas akses
Indonesia untuk memasarkan tidak terbatas pada produk-produk pertanian namun juga
jasa, seperti pariwisata, jasa keuangan, pendidikan, investasi, dan
faktor-faktor lingkungan hidup serta HAM. Indonesia hanya perlu berperan aktif, terutama melindungi produk dalam
negerinya dan juga berkompetisi dengan produk-produk lain.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rahadhian T.2011.Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret
Kerja Sama. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Cipto, Bambang.2007.HubunganInternasional Di Asia Tenggara.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jemadu, Aleksius.2008.Politik Global dalam Teori & Praktik.Yogyakarta:
Graha Ilmu
Steans, Jill dan Lloyd Pettiford.2009.Hubungan Internasional Perspektif dan
Tema.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar