Senin, 19 November 2012

BAGAIMANA STRATEGI INDONESIA MEMANFAATKAN PELUANG DARI KERJASAMA ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) ?


A.   Latar Belakang
Konsep kerjasama perdagangan bebas antara ASEAN dan China pertama kali dicetuskan oleh Perdana Menteri China Zhu Rongji dalam ASEAN+3 Meeting di Singapura pada November 2000 dan pada ASEAN-China Economic Cooperation Meeting pada tahun 2001. Pada awalnya rencana kerjasama ini banyak ditentang oleh negara-negara di Asia Tenggara, mereka cenderung lebih mendukung pembentukan FTA yang mencakup wilayah yang lebih luas termasuk Jepang dan Korea Selatan. Namun, kedua negara tersebut menyatakan kesanggupannya.

          Pada tahun 2001 China mengusulkan suatu kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area) dengan ASEAN dalam konsep The China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA/ACFTA), yang ditargetkan akan terwujud pada tahun 2010. Kesepakatan ini ditandatangani bersama pada KTT ASEAN di Vientine, Laos pada tahun 2001. Apabila ACFTA diberlakukan dengan lancar, hambatan tarif dan non-tarif akan dicabut dari 6 negara ASEAN (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand) pada 2010, dan dari negara CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam) pada 2015.[1]

Berdasarkan penyusunan kesepakatan perjanjian kerjasama ini, China terlihat lebih antusias bila dibandingkan dengan ASEAN dan berharap memperoleh keuntungan yang besar dari kerjasama ini, dimana ASEAN menjadi wilayah strategis bagi China untuk memasarkan produk-produknya. Hal ini kemudian banyak menimbulkan kecemasan bagi negara-negara di Asia Tenggara yang disebabkan oleh daya tarik produk China tersebut.

Rencana ASEAN-China FTA diprioritaskan pada bidang-bidang pertanian, teknologi informasi, sumber daya manusia, investasi dan sub-region sungai mekong. Setelah melalui enam tahap negosiasi, kesepuluh Kepala Negara ASEAN dan China berhasil menandatangani kesepakatan di Phnom Penh pada November 2002 guna melanjutkan program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk yang dilaksanakan dalam tiga tahap: 1) Early Harvest Program (EHP) yang dimulai sejak  1 Januari 2004; 2) Normal Track yang dimulai implementasi penurunan tarifnya pada 1 Juli 2005; dan 3) Sensitive Track tahun 2012 tarif maksimum 20% serta Highly Sensitive Track tahun 2015 tarif maksimum 50%.[2]

Ada dua alasan yang membuat China sedemikian agresif untuk mengukuhkan kerjasama ini, yakni alasan politik dan alasan ekonomi. Secara politik China berharap melalui peningkatan hubungan ekonomi kekhawatiran ASEAN terhadap kebangkitan ekonomi dan militer dapat berkurang. Di samping itu kerjasama ekonomi dengan ASEAN juga diharapkan China untuk mampu mengimbangi Amerika dan Jepang di Asia Tenggara. Secara ekonomi, China berharap kerjasama ini akan mempermudah jalan bagi China untuk mendapatkan bahan-bahan mentah dari kawasan Asia Tenggara. Sebaliknya, ASEAN juga berharap kerjasama ini akan membuka jalan bagi ASEAN menjual lebih banyak produknya ke China dan mendorong China untuk melakukan investasi langsung di Asia Tenggara. [3]

Perkembangan hubungan ASEAN-China dalam beberapa tahun belakangan ini bergerak cepat terutama bila dibandingkan dengan sekitar 17 tahun yang lalu. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini. Bila perkembangan hubungan ini dibandingkan dengan hubungan negara-negara besar lainnya, seperti Amerika Serikat, Jepang dengan ASEAN, maka pengaruh China dalam hubungan itu masih kecil. Sementara itu negara-negara besar akan menjaga perimbangan antara China dengan mereka agar tidak terlalu timpang.

Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut terlibat di dalamnya mulai memperlakukan kesepakatan pada tanggal 1 Januari 2010. Melalui kesepakatan kerjasama ini Indonesia ditantang untuk menunjukan eksistensi bisnis dan investasinya di dunia Internasional. Pada awal perundingan kerjasama ini, Indonesia dihadapkan kepada permasalahan tidak siapnya Indonesia dalam pelaksanaan kerjasama ini, namun Indonesia harus tetap mengikutinya agar tidak mengalami ketertinggalan dari negara-negara ASEAN lainnya. Kesepakatan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China merupakan kesepakatan paling berat bagi Indonesia. Meskipun akan tetap melaksanakan kesepakatan tersebut, Indonesia akan menggunakan haknya apabila terjadi dampak mematikan pada industri nasional. Dengan menyetujui ACFTA dan bergabung dengan ASEAN-6 yang notabene dinilai lebih siap dari CLMV, Indonesia dapat menciptakan citra kematangan ekonominya. Hal ini disebabkan karena forum internasional akan melihat bahwa Indonesia telah siap secara ekonomi untuk bersaing danstabil secara ekonomi sehingga peluang investasi akan lebih besar. Disini dapat terlihat interest  Indonesia terutama dalam bidang ekonomi untuk menciptakan citra positif agar dapat mendorong investasi yang baik dan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan ekonomi kepadaIndonesia.

B.   Tinjauan Teoritis
Dalam perpektif liberalis dijelaskan bahwa negara bukanlah satu-satunya aktor dalam sistem internasional. Masih ada aktor non-negara (NGO) seperti organisasi-organisasi internasional yang turut berperan dalam sistem internasional.  Seperti halnya pemisahan kekuasaan yang berarti bahwa negara bisa menyerahkan beberapa unsur kedaulatan mereka kepada badan-badan lain seperti organisasi-organisasi internasional. Selain itu untuk mencapai kepentingannya, suatu negara tidak harus melalui tindak kekerasan, tetapi dapat juga melalui kerjasama untuk mempertemukan kepentingan nasional antarnegara. Mekanisme pemeliharaan keamanan dan perdamaian dunia yang didasarkan pada konsep collective security memang tidak mampu mencegah perang-perang terbatas dalam intra-state-conflik tetapi secara umum kerjasama memungkinkan untuk memberikan solusi berbagai masalah-masalah ekonomi negara-negara anggotanya.  

Globalisasi di bidang ekonomi telah menciptakan saling ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran dan di bidang politik menciptakan liberalisasi. Teori ini juga dikenal dengan konsep interdependensi atau saling ketergantungan. Interdependensi merupakan konsep yang paling dekat dengan liberal.  Ketika terdapat derajat interdepedensi yang tinggi, negara-negara akan membentuk institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah bersama. Institusi-institusi itu dapat berupa organisasi internasional formal atau dapat berupa serangkaian persetujuan yang agak formal yang menghadapi aktivitas-aktivitas atau isu-isu bersama.Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketergantungan China terhadap sejumlah barang-barang mentah seperti dalam bidang pertanian yang dibutuhkan oleh China dari Asia Tenggara terutama dari Indonesia. Maka dari itulah China berinisiatif untuk membentuk sebuah kerjasama untuk mempermudah transaksi perdagangannya.

Oleh karena itu, Indonesia harus sedemikian rupa dalam memanfaatkan peluang dari kerjasama ini. Hal ini dapat dilakukan menarik investasi-investasi yang kemudian hasilnya dapat diputar untuk mengekspor barang-barang ke negara lain. Indonesia dapat memanfaatkan peluang untuk mengekspor sejumlah hasil pertanian tanpa dikenakan biaya apapun di China yang mulai diberlakukan mulai tahun 2004. Indonesia juga dapat meningkatkan comparative advantage terhadap produk dari China yang membutuhkan spesialisasi. Dengan adanya spesialisasi, Indonesia akan mengimpor dari dan juga mengekspor ke China. Produk-produk unggulan Indonesia di antaranya karet, batu bara, gas, bahan baku logam mineral mentah, tekstil, kertas, dan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) memiliki penetrasi pasar ke China cukup besar.

Pemerintah juga harus memiliki peranan penting, yang dalam hal ini membuat kebijakan-kebijakan terutama mengenai peningkatan kapasitas produksi, dan kualitas komoditas barang-barang yang akan diekspor tersebut. Selain kebijakan peningkatan komoditi ekspor, pemerintah juga perlu untuk membuat suatu kebijakan yang memanfaatkan murahnya produk China untuk mendorong produksi dengan pasar dalam negeri. Murahnya harga produk akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat Indonesia akan meningkat, sehingga diharapkan agar produsen lokal melihat dan memanfaatkan peluang tersebut.  

Secara umum kesempatan dan peluang Indonesia dalam kerjasama ini cukup besar. Dengan adanya kerjasama ini dapat memperluas akses Indonesia untuk memasarkan tidak terbatas pada produk-produk pertanian namun juga jasa, seperti pariwisata, jasa keuangan, pendidikan, investasi, dan faktor-faktor lingkungan hidup serta HAM.  Indonesia hanya perlu berperan aktif, terutama melindungi produk dalam negerinya dan juga berkompetisi dengan produk-produk lain.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rahadhian T.2011.Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja Sama. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Cipto, Bambang.2007.HubunganInternasional Di Asia Tenggara.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jemadu, Aleksius.2008.Politik Global dalam Teori & Praktik.Yogyakarta: Graha Ilmu
Steans, Jill dan Lloyd Pettiford.2009.Hubungan Internasional Perspektif dan Tema.Yogyakarta: Pustaka Pelajar


[1] Akbar,  Rahadian T, Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerjasama,Yogayakarta:Pustaka Pelajar,2011, hal.145
[2] Ibid.,hal 146
[3] Bambang Cipto,Hubungan Internasional Di Asia Tenggara,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2007, hal. 251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar