Selasa, 13 November 2012

TEORI-TEORI KENEGARAAN DALAM ISLAM


Pendahuluan
Tata cara menjalankan dan memimpin sebuah negara merupakan aspek yang sangat penting bagi keberadaan sebuah negara. Selain itu mempelajari pola pikir politik sangat perlu untuk mengetahui ciri-ciri politik sebuah negara. Dalam perkembangan awal system ketatanegaraan Islam, ada empat aliran yang timbul yaitu: Sunni, Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah. Berikut akan dibahas secara ringkas mengenai keempat aliran tersebut. 

A.       Pemikiran Politik Sunni
Pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro terhadap pemerintah yang berkuasa (status quo). Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan. Kalangan ulama Sunni pada umumnya melarang rakyat (umat Islam) melakukan pemberontakan terhadap penguasa walaupun zalim. Kalangan Sunni biasanya menganggap bahwa kekuasaan kepala negara (khalifah) berasal dari Tuhan. Dalam sejarah Islam, yang pertama kali memperkenalkan dirinya sebagai khalifah (wakil) Tuhan di bumi-Nya adalah Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari Bani Abbas. Pertanyaan ini menunjukan bahwa Khalifah memerintah berdasarkan mandate Tuhan. Kekuasaannya adalah mutlak serta harus dipatuhi. Khalifah adalah baying-bayang Allah di dunia (The Shadow of God on the Earth)

Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al–Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran-ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara. Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.

Berbeda dengan tiga pemikir lainnya, Al-Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al-Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih. Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.

Ciri lain pemikiran politik golongan Sunni adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai syarat kepala negara. Pandangan ini mereka landasi pada hadist Nabi yang menyatakan bahwa imam-imam (pemimpin) umat Islam harus berasal dari suku Quraisy (Al-aimmaah min Quraisy). Ibn Khaldun berpendapat bahwa syarat Quraisy tersebut untuk menjadi kepala negara adalah karena pada masa itu suku Quraisy memiliki wibawa dan kekuatan yang disegani di jazirah Arab. Oleh karena tidaklah mutlak bahwa kepala negara harus berasal dari suku Quraisy.

Selain itu, teori politik pemikir yang tidak kalah pentingnya yaitu luputnya pembahasan Syura (musyawarah). Konsep syura mengajarkan sikap demokratis dan telah terkubur dalam percaturan politik sejak naiknya Mu’awiyah ibn Abi Sufyan sebagai pendiri Dinasti Bani Umaiyah. Ironisnya, langkah ini kemudian diikuti oleh Bani Abbas yang berhasil menjatuhkan kerajaan tersebut.

B.       Pemikiran Politik Syi’ah
Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, salah satunya syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad telah mendominasikan dalam peraturan politik islam. Mereka menganggap bahwa yang berhak memegang kekuasaan politik setelah Nabi wafat adalah Ali ibn Abi Thalib.

Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.  Dari sekian banyaknya sekte, sekte syi’ah dapat dikelompokkan menjadi aliran yang moderat, ekstrem dan antara keduanya. Kelompok moderat umumnya memandang Ali sebagai manusai biasa. Sedangkan kelompok ekstrem memperlakukan Ali sebagai Nabi yang bahkan lebih tinggi kedudukannya dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa Ali merupakan penjelmaan Tuhan. Namun diantara tia sekte tersebut, terdapat tiga sekte besar dan berpengaruh dalam mazhab Syi’ah hingga sekarang, yaitu Zaidiyah, Isma’iliyah ( Sab’iyah) dan Imamiyah (Isna ‘Asyariyah).

Kaum syi’ah menetapkan bahwa  seorang imam  :
1.         Harus ma’saum ( terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2.         Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat.
3.         Seseorang imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan.
4.         Imam adalah pembela  agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.

C.           Pemikiran Politik Khawarij
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitrase (tahkim) yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Pengikut Khawarij merupakan suku Arab Badui yang masih sederhana pola pikirnya sehingga sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada di luar kelompoknya adalah kafir dan hala dibunuh. Sikap picik dan ekstrem ini pula yang membuat mereka terpecah menjadi beberap sekte. Satu hal yang cukup menarik adalah meskipun mereka cenderung ekstrem dan sulit menerima perbedaan, pandangan mereka cukup maju daripada Sunni maupun Syiah.

Berbeda dengan kelompok Sunni dan Syiah, mereka tidak mengakui hak-hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Dari pemikiran ini pengikut Khawarij berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah kewajiban yang berdasakan Syari’ (agama). Pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia.

Khawarij menggunakan syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Kalau ternyata kepala negara menyimpang dari semestinya dia dapat diberhentikan atau dibunuh. Pandangan Khawarij yang lebih demokratis ini agaknya bisa dipahami dari sosiologis masyarakat Arab yang mengutamakan syura dalam pengambilan keputusan. Mereka ingin menegakkan kembali tradisi syura yang mendapat justifikasi dalam Islam, setelah terkubur oleh ambisi politik  Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.

D.       Mu’tazilah
Penamaan kelompok mu’tazilah ini baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara washil ibnu atah dengan gurunya hasan al-basri. Tentang penilaian orang yang berbuat dosa. Kelaompok mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi nasional, akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan, pemikiran mu’tazilah berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajibaan berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara, menambah dalam karangannya melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Karena kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat islam sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.

Abd al-Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

Sebagai aliran rasional, Mu’tazilah berpendapat bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia dapat mengetahui empat hal yaitu: Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, baik dan jahat serta mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Berdasarkan pendekatan ini, maka pembentukan khilafah atau negara adalah bagian dari kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada tiga pemikiran politik dalam kenegaraan Islam yaitu aliran aristokrasi dan monarki oleh kelompok Sunni, aliran teokrasi yang diwakili oleh kelompok Syiah yang memandang kepala negara sebagai pribadi yang ma’shum, serta yang terakhir yaitu aliran demokratis yang dianut oleh Khawarij dan Mu’tazilah yang merupakan reaksi atas politik Sunni dan Syiah yang mengutamakan kelompok atau pribadi tertentu dalam kepemimpinan Islam.

Daftar Pustaka

Iqbal, Muhammad.2001.Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta: Gaya Media Persada.
Pulungan, Suyuti.1997.Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar