Pendahuluan
Tata cara
menjalankan dan memimpin sebuah negara merupakan aspek yang sangat penting bagi
keberadaan sebuah negara. Selain itu mempelajari pola pikir
politik sangat perlu untuk mengetahui ciri-ciri
politik sebuah negara. Dalam perkembangan awal system ketatanegaraan Islam, ada
empat aliran yang timbul yaitu: Sunni, Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah. Berikut
akan dibahas secara ringkas mengenai keempat aliran tersebut.
A. Pemikiran Politik
Sunni
Pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro terhadap pemerintah yang
berkuasa (status quo). Pemikiran-pemikiran
dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan. Kalangan
ulama Sunni pada umumnya melarang rakyat (umat Islam) melakukan pemberontakan
terhadap penguasa walaupun zalim. Kalangan Sunni biasanya menganggap bahwa
kekuasaan kepala negara (khalifah) berasal dari Tuhan. Dalam sejarah Islam,
yang pertama kali memperkenalkan dirinya sebagai khalifah (wakil) Tuhan di
bumi-Nya adalah Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari Bani Abbas. Pertanyaan ini
menunjukan bahwa Khalifah memerintah berdasarkan mandate Tuhan. Kekuasaannya
adalah mutlak serta harus dipatuhi. Khalifah adalah baying-bayang Allah di
dunia (The Shadow of God on the Earth)
Pandangan
hampir serupa dikemukakan oleh al–Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan
lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan
rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran-ajaran
agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang
pendukungnya adalah negara. Ibnu
Taimiyah juga
menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya
sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin
jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara
yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk
melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih
menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
Berbeda dengan tiga pemikir lainnya, Al-Mawardi berpendapat bahwa sumber
kekuasaan kepala
negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya
kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara
timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa. Suatu
hal yang perlu mendapat perhatian dari al-Mawardi
yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih. Kepatuhan
ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang
jahat.
Ciri lain pemikiran politik golongan Sunni adalah penekanan mereka terhadap
suku Quraisy sebagai syarat kepala negara. Pandangan ini mereka landasi pada
hadist Nabi yang menyatakan bahwa imam-imam (pemimpin) umat Islam harus berasal
dari suku Quraisy (Al-aimmaah min Quraisy). Ibn Khaldun berpendapat bahwa
syarat Quraisy tersebut untuk menjadi kepala negara adalah karena pada masa itu
suku Quraisy memiliki wibawa dan kekuatan yang disegani di jazirah Arab. Oleh
karena tidaklah mutlak bahwa kepala negara harus berasal dari suku Quraisy.
Selain itu, teori politik pemikir yang tidak kalah pentingnya yaitu
luputnya pembahasan Syura (musyawarah). Konsep syura mengajarkan sikap demokratis
dan telah terkubur dalam percaturan politik sejak naiknya Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan sebagai pendiri Dinasti Bani Umaiyah. Ironisnya, langkah ini kemudian
diikuti oleh Bani Abbas yang berhasil menjatuhkan kerajaan tersebut.
B. Pemikiran Politik
Syi’ah
Mengenai
kelahiran
kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya,
salah satunya syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok
sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad
telah mendominasikan dalam peraturan politik islam. Mereka
menganggap bahwa yang berhak memegang kekuasaan politik setelah Nabi wafat
adalah Ali ibn Abi Thalib.
Pada
perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang
atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan
mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan
pengganti imam.
Dari sekian banyaknya sekte, sekte syi’ah dapat dikelompokkan menjadi
aliran yang moderat, ekstrem dan antara keduanya. Kelompok moderat umumnya
memandang Ali sebagai manusai biasa. Sedangkan kelompok ekstrem memperlakukan
Ali sebagai Nabi yang bahkan lebih tinggi kedudukannya dari Nabi Muhammad
sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa Ali merupakan penjelmaan Tuhan. Namun
diantara tia sekte tersebut, terdapat tiga sekte besar dan berpengaruh dalam
mazhab Syi’ah hingga sekarang, yaitu Zaidiyah, Isma’iliyah ( Sab’iyah) dan
Imamiyah (Isna ‘Asyariyah).
Kaum
syi’ah menetapkan bahwa seorang imam :
1.
Harus
ma’saum ( terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2.
Seorang
imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan
syariat.
3.
Seseorang
imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan.
4.
Imam
adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian
agar terhindar dari penyelewengan.
C.
Pemikiran Politik Khawarij
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali
setelah arbitrase (tahkim) yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata
antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Pengikut Khawarij merupakan suku Arab Badui
yang masih sederhana pola pikirnya sehingga sikap keagamaan mereka sangat
ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang
berada di luar kelompoknya adalah kafir dan hala dibunuh. Sikap picik dan
ekstrem ini pula yang membuat mereka terpecah menjadi beberap sekte. Satu hal
yang cukup menarik adalah meskipun mereka cenderung ekstrem dan sulit menerima
perbedaan, pandangan mereka cukup maju daripada Sunni maupun Syiah.
Berbeda dengan kelompok Sunni dan Syiah, mereka tidak mengakui hak-hak
istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Dari
pemikiran ini pengikut Khawarij berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah
kewajiban yang berdasakan Syari’
(agama). Pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah
kemaslahatan manusia.
Khawarij menggunakan syura untuk
mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Kalau ternyata kepala negara
menyimpang dari semestinya dia dapat diberhentikan atau dibunuh. Pandangan
Khawarij yang lebih demokratis ini agaknya bisa dipahami dari sosiologis
masyarakat Arab yang mengutamakan syura
dalam pengambilan keputusan. Mereka ingin menegakkan kembali tradisi syura yang mendapat justifikasi dalam
Islam, setelah terkubur oleh ambisi politik
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
D. Mu’tazilah
Penamaan
kelompok mu’tazilah ini baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan
antara washil ibnu atah dengan gurunya hasan al-basri. Tentang penilaian orang
yang berbuat dosa. Kelaompok mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah
aliran teologi nasional, akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan,
pemikiran mu’tazilah berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah
kewajibaan berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk
membentuk negara, menambah dalam karangannya melainkan atas dasar pertimbangan
rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Karena kepala negara ditentukan
berdasarkan pemilihan umat islam sendiri. Hal
ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar
yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga
khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas
mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia.
Abd
al-Jabar
menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya,
menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan
Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki
kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal
negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan
pemilihan umat Islam sendiri.
Sebagai aliran rasional, Mu’tazilah berpendapat bahwa dengan kemampuan
akalnya, manusia dapat mengetahui empat hal yaitu: Tuhan, kewajiban mengetahui
Tuhan, baik dan jahat serta mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Berdasarkan
pendekatan ini, maka pembentukan khilafah atau negara adalah bagian dari kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada tiga pemikiran
politik dalam kenegaraan Islam yaitu aliran aristokrasi dan monarki oleh kelompok
Sunni, aliran teokrasi yang diwakili oleh kelompok Syiah yang memandang kepala
negara sebagai pribadi yang ma’shum, serta yang terakhir yaitu aliran
demokratis yang dianut oleh Khawarij dan Mu’tazilah yang merupakan reaksi atas
politik Sunni dan Syiah yang mengutamakan kelompok atau pribadi tertentu dalam
kepemimpinan Islam.
Daftar Pustaka
Iqbal,
Muhammad.2001.Fiqih
Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta:
Gaya Media Persada.
Pulungan,
Suyuti.1997.Fiqih Siyasah:
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar