Selasa, 13 November 2012

SIYASAH DUSTURIYAH


Pendahuluan
Siyasah dusturiyah merupakan bagian dari kajian fiqh siyasah yang membahas mengenai  prinsip-prinsip pokok yang menjadi landasan bagi pemerintahan sebuah negara  termasuk didalamnya perundang-undangan, peraturan-peraturannya dan adat istiadat. Ada empat konsep yang dibahas di dalam siyasah dusturiyah, yaitu konstitusi, legislasi, ummah serta syura dan demokrasi. Berikut akan dibahas secara ringkas mengenai masing-masing konsep siyasah dusturiyah tersebut.

Konsep-Konsep Konstitusi, Legislasi, Syura dan Demokrasi Serta Ummah
1.    Konstitusi
Dalam fiqh siyasah, konstitusi disebut juga dengan dusturi. Menurut istilah, dustur berarti kumpula kaedah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesame anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tertulis (konstitusi) maupun yang tidak tertulis (konvensi). Menurut Abdul Wahab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakkan Islam dalam perumusan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-beda stratifikasi social, kekayaan, pendidikan dan agama.

Pada awalnya konstitusi berupa pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang ditentukan oleh adat istiadat. Namun karena adat istiadat tidak tertulis, maka pemerintah banyak yang berlaku sewenang-wenang sehingga kemudian banyak rakyat yang memberontak sehingga selanjutnya melahirkan pemikiran untu menciptakan undang-undang sebagai konstitusi tertulis sebagai pedoman dalam hubungan antara masyarakat dan pemerintah.

2.    Legislasi
Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative disebut juga dengan al-sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidzhiyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah). Dalam konteks ini kekuasaan legislative (al-sulthah al-tasyri’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at Islam.

Orang-orang yang duduk dalam lembaga legislative ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang. Ada dua fungsi lembaga legislative. Pertama, dalam hal-hal ketentuannya, sudah terdapat didalam nash Al-Qur’an dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan oleh  al-sulthah al-tasyri’iyah adalah undang-undang Ilahiyah yang disyari’atkanNya dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi SAW. Kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Kewenangan lain dari lembaga legislative adalah dalam bidang keuangan negara. Dalam masalah ini, lembaga legislative berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan negara, sumber devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan negara kepada kepala negara selaku pelaksana pemerintahan.

3.    Ummah
Dalam terminologi Islam, istilah “ummah” adalah sebuah konsep yang unik dan tidak ada padanannya dalam bahasa-bahasa Barat. Pada mulanya, kalangan pemikir politik dan orientalis Barat mencoba memadankan kata “ummah” dengan kata nation (bangsa) dan nation-state (negara bangsa). Namun, padanan ini dianggap tidak tepat dan akhirnya dipadankan pula dengan kata community (komunitas). Meskipun demikian term “komunitas” juga tidak terlalu tepat untuk disamakan dengan term ummah.

Kata ummah berasal dari kata amma-yaummu yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari akar kata ini lahir antara lain kata umm yang berarti ‘ibu” dan imam yang bermakna “pemimpin”. Kedua-duanya merupakan teladan, tumpuan pandangan dan harapan bagi anggota masyarakat. Menurut Ali Syari’ati makna ummah terdiri dari tiga kata yaitu: gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran. Dengan demikian kata ummah berarti “jalan yang jelas”, yaitu “sekelompok manusia yang bermaksud menuju jalan”.

 Ada lima ciri yang menggambarkan ummah. Pertama, ummah memiliki kepercayaan kepada Allah dan keyakinan kepada Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, memiliki kitab yang satu (Al-Qur’an) dan memiliki pengabdian yang satu pula yaitu kepada Allah. Kedua,  Islam yang memberikan identitas pada ummah mengajarkan semangat universal. Ketiga, karena umat Islam bersifat universal maka secara alamiah umat Islam juga bersifat organic. Keempat, Islam tidak mendukung ajaran kolektivitas komunisme, dan individualisme kaum kapitalis. Kelima, berdasarkan prinsip-prinsip diatas maka system politik yang digariskan Islam tidak sama dengan pandangan-pandangan Barat seperti nasionalisme dan teritorialisme yang didasarkan pada batasan-batasan wilayah, darah, warna, kulit dan bahasa.

4.    Syura dan Demokrasi  
Kata “syura” berasal dari sya-wa-ra yang secara etimologis berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah. Sejalan dengan pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Agar prinsip syura ini dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ditentukan Allah, setidaknya musyawarah harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu masalah apa saja yang menjadi lapangan musyawarah, dengan siapa musyawarah dilakukan serta bagaimana etika dan cara musyawarah dilakukan.
Sebagaimana halnya syura diatas, demokrasi juga menekankan unsur musyawarah dalam mengambil keputusan. Demokrasi juga menekankan sebagai bentuk kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat-sebagaimana didefinisikan. Menurut Sadek, ada tujuh prinsip utama dalam demokrasi, yaitu :
a.       Kebebasan berbicara. Setiap warga negara berhak mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa takut.
b.      Pelaksanaan pemilu-dalam bahasa politik Indonesia-yang luber dan jurdil.
c.       Kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan control minoritas.
d.      Sejalan dengan prinsip ketiga, partai politik memegang peranan yang penting.
e.       Demokrasi meniscayakan pemisahan kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif.
f.      Demokrasi menekankan adanya supremasi hukum.
g.    Dalam demokrasi, semua individu atau kelompok bebas melakukan perbuatam.

Selain itu ada prinsip-prinsip demokrasi yang dapat disejajarkan dengan syura dalam Islam. Pertama, tauhid sebagai landasan asasi; kedua, kepatuhan hukum; ketiga, toleransi warga; keempat, demokrasi Islam tidak dibatasi oleh wilayah geografis, ras, warna kulit atau bahasa; kelima, penafsiran hukum Tuhan harus dilakukan melalui ijtihad.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan ada empat bagian konsep-konsep dalam siayasah dusturiyah, yaitu konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya perundang-undangan dalam suatu negara), legislasi yaitu mengenai proses perumusan undang-undang), dan demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting dalam perundang-undangan negara serta ummah yang menjadi pelaksana undang-undang tersebut.

Daftar Pustaka
Iqbal, Muhammad.2001.Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta: Gaya Media Persada.
Pulungan, Suyuti.1997.Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar