OLEH: CHARLES P. KINDLEBERGER
Charles P. Kindleberger merupakan seorang sejarawan ekonomi terkemuka yang terkenal dengan tesisnya mengenai naiknya perdagangan bebas di Eropa. Kindleberger berpendapat bahwa dalam beberapa kasus, perdagangan bebas muncul sebagai suatu pengusaha individual yang menekan pemerintah mereka untuk melakukan pembatasan terhadap perdagangan dan keuangan internasional sehingga mereka dapat dengan mudah mengejar peluang bisnis di luar negeri. Kindleberger menunjukan bahwa aktivitas politik yang dilakukan oleh para pengusaha tidak dapat menjelaskan percepatan petumbuhan perdagangan bebas di Eropa setelah tahun 1850. Dia juga berpendapat bahwa “gelombang kedua” perdagangan bebas mungkin telah didorong oleh ideologi, bukan oleh kepentingan ekonomi dan politik.
Pada dasarnya perdagangan bebas dimulai pada abad ke-18. Teori Physiocratic
Perancis dikumandangkan dengan slogan laisser
faire, laisser passer, untuk mengurangi larangan ekspor pada produk
pertanian. Sebagai contohnya dapat dilihat pada Tuscany dimana diperbolehkan
untuk melakukan ekspor jagung secara bebas dari Sienese Maremma pada tahun 1737
setelah Grand Duke Francis membaca Wacana Ekonomi Sallustio Bandini. Sejak
dilanda bencana kelaparan pada tahun 1764, Tuscany secara perlahan-lahan
membuka pasar untuk impor gandum sebelum diadakannya Perjanjian Vergennes pada
tahun 1786 antara Perancis dan Inggris
yang meletakan doktrin Physiocratic Perancis ke dalam pelaksanaannya.
Kebijakan mengenai pasokan tersebut tidak hanya terbatas pada makanan. Pada
abad ke-18 dan awal abad ke-19 ekspor dibatasi antara lain pada: wol dan
batubara (Inggris), abu, kain, pasir untuk kaca dan kayu bakar (Jerman), kapal
kayu (Austria), rose madder (Belanda) dan sutera kokon (Italia). Revolusi
industri yang terjadi di Inggris menyebabkan adanya larangan ekspor mesin dan
juga larangan emigrasi pengrajin untuk meningkatkan pasokan untuk penggunaan
lokal serta mencegah difusi teknologi di Kontinen. Penghapusan pajak ekspor dan
larangan-larangan pada abad ke-19 di Eropa menimbulkan berbagai macam keraguan
mengenai validitas universal dari teori tarif sebagai barang kolektif.
Kepentingan kelompok produksi biasanya lebih berpengaruh kepada industri-industri
lain daripada industri yang berperan sebagai konsumen.
Ada beberapa kelompok pembagian tugas dalam ekspor yang dibutuhkan oleh
produsen dalam negeri untuk kepentingan perdagangan yang ditetapkan di Belanda,
diantaranya: First Hand atau tangan pertama yang terdiri dari pedagang, pemilik
kapal dan bankir; Second Hand yang melakukan penyortiran dan pengepakan dan
juga pengrosiran di kawasan Kontinent; dan yang terakhir yaitu Third Hand, yang
berkaitan dengan distribusi di daerah pedalaman. Perdagangan pokok di Belanda
sebagian didasarkan pada kemampuan pedagang dan sebagian lagi didasarkan pada
daerah-daerah penting seperti Amsterdam, Rotterdam, dan kota-kota utama lainnya
yang dikhususkan untuk perdagangan komoditas tertentu. Fisrt Hand atau tangan
pertama biasanya mendominasi kehidupan sosial dan politik Belanda dan menentang
semua tarif pada semua barang-barang ekspor dan impor diatas minimum
pendapatan, dalam rangka memaksimalkan perdagangan dan meminimalkan formalitas.
Di Inggris, gerakan menuju pasar bebas terjadi pada abad ke-19, tidak lama
setelah Perang Napoleon. Pada awalnya terdapat terdapat permasalahan terutama
bagi kelompok Wedgewood yang mendukung perdagangan bebas untuk ekspor
manufaktur di bawah Perjanjian Vergennes dengan Perancis, namun mendapat
larangan untuk mengekspor mesin dan emigrasi pengrajin. Ada tiga argumen utama
tentang pembatasan larangan ekspor dan emigrasi pengrajin menurut Huskisson:
mereka tidak efektif, tidak memiliki kemampuan dan berbahaya. Ketidakefektifan
ini dibuktikan oleh terlalu banyak hal detail dalam laporan Komite Pilihan
(Select Commitee) pada efisiensi penyelundupan. Selain itu, ketidakmpuan juga
menjadi salah satu faktor pembatasan larangan emigrasi pengrajin. Hal ini dapat
dilihat pada ketidakmampuan orang-orang asing untuk memahami mesin Bahasa
Inggris dan juga berkomunikasi dengan pekerja-pekerja Inggris lainnya, yang
berguna untuk bersaing dengan produsen Inggris. Faktor yang ketiga yakni
berbahaya, dimana pembatasan atas emigrasi pengrajin gagal untuk mencegah
keberangkatan mereka, tetapi gagal menghambat kepulangan mereka.
Berdasarkan model dua sektor, perdagangan bebas muncul ketika faktor yang
berlebih memperoleh kekuasaan politik dan bergerak untuk menghilangkan
pembatasan-pembatasan yang dikenakan untuk kepentingan faktor langka yang telah
kehilangan kekuasaan. Johnson berpendapat bahwa perdagangan bebas yang diadopsi
oleh banyak negara dengan persaingan yang sedang berkembang berbeda dengan penjelasan
perdagangan bebas imperialis yang menyatakan bahwa perdagangan bebas diadopsi
sebagai sebuah usaha untuk memperoleh keuntungan asing dalam dalam
perindustrian ketika persaingan mulai berkurang. Para pemikir terdahulu mungkin
sependapat dengan penjelasan Adam Smith tentang perdagangan bebas tujuh puluh
tahun sebelumnya yang lebih didominasi oleh pemikiran Physiocratic Prancis atau
ditetapkan pada tahun 1820-an ketika produksi Inggris masih berkembang sebelum
benua itu mengejar ketertinggalannya. Sebaliknya, perdagangan bebas
imperialisme adalah sebuah penjelasan yang lebih baik untuk tahun 1930-an bila
dibandingkan dengan tahun 1840, dimana pada tahun 1846 sudah terlambat untuk
menghentikan memperlambat atau menghentikan kemajuan industri di benua
tersebut.
Kepentingan pribadi dalam persaingan untuk memperoleh penyewaan dalam
perwakilan demokrasi, mendesak para produsen untuk berusaha memperluas pasar
atau menggoyahkan para inovator, sebagai sebuah pilihan terakhir untuk memaksa
adanya ekspor di tengah penyusutan pasar – agak mirip dengan tahap investasi
asing langsung di siklus produk Vernon
ketika difusi teknologi telah dicapai. Namun, tidak satupun dari penjelasan ini
menyelesaikan kesulitan bila dibandingkan dengan penjelasan yang lebih
ideologis berdasarkan keberhasilan kaum intelektual ekonomi politik dimana
doktrin mereka telah dimodifikasi untuk membaurkan konsistensi. Argumen-argumen
tersebut memiliki banyak bentuk, diantaranya: statis, dinamis, yang secara
implisit berhubungan antara kejadian yang satu dengan kejadian lainnya, secara
langsung maupun tidak langsung menggunakan Hukum Hime. Hukum Hime menyebutkan
bahwa impor yang meningkat akan meningkatkan harga atau kuantitas (atau
keduanya) dan pengurangan upah atau di
sisi lain bisa juga memperoleh pemasukan yang lebih tinggi dari harga pangan
yang lebih rendah.
Lain halnya dengan di Perancis, setelah tahun 1815, Perancis merupakan
sebuah negara dengan tarif bea-cukai tertinggi yang membenarkan model Pincus
sebagai sebuah perwujudan demokrasi dengan tarif, untuk berbagai macam
kepentingan, kecuali: (a) tarif untuk semuanya, dan (b) bukan sebuah demokrasi.
Dontrin Physiocratic tentang ekspor hasil pertanian laisser-faire telah didiskreditkan dalam bentuk bencana
timbal-balik yang disebabkan oleh impor sampai tahun 1789 dibawah Piagam
Vergennes. Selanjutnya sistem Kontinental
menetapkan proteksi terhadap industri rumah tangga, yang berlanjut
hingga tahun 1816, dan dielaborasi pada tahun 1820 dan tahun 1822. Menurut
prinsip-prinsip Tagot, seharusnya ada kebebasan dalam perdagangan gandum di
Perancis, namun tidak ada impor kecuali pada saat kekeringan yang menambahkan
dua hal lagi: perlindungan terhadap konsumen dengan mengatur hak eskpor gandum
yang hal ini berarti kembali kepada doktrin Physiocratic, dan melindungi
hak-hak konsumen dengan adanya pajak impor.
Dalam memperkenalkan pajak industri tahun 1822, Saint Cricq membela
larangan dan menyerang pandangan yang menyatakan bahwa pemerintah akan
melindungi segala aspek baik pertanian, industri, periklanan lokal, produksi
kolonial, navigasi, periklanan asing baik di darat maupun laut. Namun hal ini
tidak berlangsung lama, yang disebabkan oleh tekanan terhadap kewajiban yang
lebih rendah yang ditujukan oleh mereka. Banyaknya keluhan dari
industri-industri terhadap pembebanan pajak terutama pada pembelian bahan baku
besi juga menjadi salah satu gagalnya sistem pajak industri. Pergerakan
perdagangan bebas di Perancis mendapat dukungan dari di Bordeux, daerah
pengekspor anggur; Lylon, yang tertarik pada sutera; dan Paris, produsen yang
terkenal sebagai pusat penjualan di artikel-artikel luar negeri ( gudang
kabinet, parfume, perhiasan imitasi, mainan, dll).
Gerakan Perancis untuk perdagangan bebas dititikberatkan terhadap pemisahan
kepentingan, dengan tidak adanya ekspor yang kuat, dengan campuran dari teori
ekonomi dari jenis yang dipaksakan dari atas. Motivasi itu sebagian berasal
dari aspek ekonomi dan sebagian lagi berasal dari aspek lain terutama politik. Selain
itu, adanya sebuah efek bandwagon atau efek ikut-ikutan dalam penyebaran
perdagangan bebas.
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai Prussia, dimana telah disebutkan
sebelumnya bahwa tarif Prusia tahun 1818 merupakan tarif terendah yang ada di
Eropa. Jacob pada tahun 1819 mencatat bahwa “sistem pemerintahan Prussia selalu
melakukan manufaktur di rumah setiap segala sesuatu yang dikonsumsi dalam
kerajaan, semuanya dilakukan secara teliti tanpa ada yang hilang sedikitpun”.
Baden, salah satu kota di Jerman, yang tergabung dalam Zollverein yang diadopsi
dari tarif Perussia, yakin bahwa dirinya akan bisa meningkatkan tarifnya ketika
bergabung.
Tarif Prussia didominasi oleh Zollverein, yang diorganisir dari tahun 1828
hingga 1833, terutama karena Prussia mengambil pandangan yang sangat liberal
terhadap pendapatan tarif. Sebagian besar barang melalui laut memasuki Jerman
melalui Prussia, secara langsung atau melewati Belanda, tetapi isi dari
perjanjian Zollverein pada tahun 1833 memiliki ketentuan bahwa pendapatan dari
bea masuk atau pajak setelah pengurangan beban akan dibagi antara negara-negara
yang terikat kontrak berdasarkan populasi. Sehingga Prussia menerima 55%,
Bavaria 17%, Saxony 6,36%, Wurrtemberg 5,5% dan seterusnya. Diperkirakan pada
tahun 1848 Prussia telah mengorbankan sekitar dua juta talers setahun, khususnya
rugi fiskal berkelanjutan akibat penyelundupan di sepanjang sungai rhein dan
danau constance. Diluar Prussia ditambah Hamburg dan Frankfurt, dan negara
penghasil gandum lainnya seperti Mecklenburg, Pomerania dll, ada kepentingan
terhadap tarif yang lebih tinggi namun berada diluar Rhineland, dan tidak terorganisir. Von Delbruck berkomentar bahwa
Prussia dan Pomerania memiliki kepentingan perdagangan bebas dan kepentingan
pengiriman yang di selenggarakan oleh Kamar Dagang di bawah pengawasan
Perancis, dimana terdapat para birokrat, atau organ-organ lain yang mengerti
mengenai perdagangan dan industri.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa perdagangan bebas di Eropa yang terjadi sejak
tahun 1820-1870 memiliki banyak perbedaan kasus, semenjak diberlakukannya harga
tunggal tungga di beberapa negara untuk merangsang jatuhnya harga gandum
setelah tahun 1879. Inggris melikuidasi pertaniannya; Perancis dan Jerman
melakukan pemaksaan tarif, hal ini disebabkan oleh perbedaan alasan politik dan
sosial; Italia melakukan emigrasi (dalam pelanggaran asumsi ekonomi klasik);
dan Denmark bertransformasi dari pengekspor gandum menjadi pengimpor gandum
dan juga barang-barang harian, bekon dan telur. Hal yang sama juga terjadi
dinegara lain, hanya yang membedakannya adalah respon masing-masing negara
terhadap permasalahan tersebut. Perdagangan bebas merupakan salah satu respon
utama terhadap kehancuran sistem manor dan sistem serikat. Hal ini terutama
berlaku pada penghapusan pembatasan dan juga pajak ekspor, yang terbatas pada
kebebasan produsen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar